Rabu, 15 Oktober 2008

Ramadhan di Xinjiang

Oleh Tri Martha Herawati

Pekerjaan di kantor membuatku harus melewatkan sholat tarawih berjamaah di masjid sepekan terakhir. Tidak biasa memang, ini karena rekan kerjaku masih cuti melahirkan selama 3 bulan. Pekerjaanku bertumpuk karena tidak ada rekan lain yang membantu.

Pukul empat sore. Masih ada satu setengah jam menjelang maghrib. Aku masih di depan layar komputer menyiapkan laporan keuangan untuk meeting besok pagi.

”Assalamu’alakum, saudaraku,” salam itu muncul dari yahoo massanger yang sengaja ku-online-kan. Ma Yunfu, id user sahabatku yang sekarang bekerja di Xinjiang China, muncul di kotak chatting. Ma Yunfu, nama aslinya Muhammad Yusuf. Hampir dua tahun ia kontrak kerja di Xinjiang.
”Waalaikum salam,” tulisku menjawab salamnya. ”Apa kabar?”
”Tak terlalu bagus,” jawab Yusuf sambil menunjukkan icon wajah murung.

”Ramadhan bagaimana di sana?”
”Kau tahu, tak mudah menjalankan ibadah selama ramadhan di sini.”
”Kenapa?”
”Kau tidak baca di internet? Pemerintah di sini melarang sholat tarawih berjamaah.”
”What’s? Apa-apan tuh?” tulisku kesal sambil memasang icon wajah marah
”Alasan mereka, melaksanakan ibadah shalat tarawih berjamaah, dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan dan merusak keharmonisan hubungan sosial.”

”Weleh... weleh... alasan yang dibuat-buat,” tulisku.
”Disini, memasang iklan atau pengumuman-pengumuman menyambut bulan suci ramadhan di tempat-tempat publik juga dilarang. Termasuk mengedarkan rekaman video, menyiarkan rekaman Al Quran dengan loudspeaker dan menggunakan beduk atau drum khusus dalam festival menyambut Ramadhan juga dilarang,” tulis Yusuf panjang lebar.

”Masya Allah... itu pelanggaran hak orang muslim,” komentarku menjawab Yusuf.
”Begitulah...”
”Terus, kamu sholat tarawihnya gimana?”
”Kami sholat sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah. Kalau ketahuan bisa kena hukum.”

Aku mencoba browsing tentang kota Xinjiang di google. Di situs wikipedia kutemukan gambaran tentang Xinjiang. Nama lengkapnya Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Kota ini adalah sebuah daerah otonomi di Republik Rakyat Cina. Xinjiang berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet di sebelah selatan dan Provinsi Qinghai serta Gansu di tenggara. Wilayah ini juga berbatasan dengan Mongolia di sebelah timur, Rusia di utara, serta Kazakhstan, Kirgizia, Tajikistan, Afganistan, dan Kashmir di barat. Xinjiang juga mencakup sebagian besar wilayah Aksai Chin yang diklaim oleh India sebagai bagian dari Negara Bagian Jammu dan Kashmir. Penduduk asli Xinjiang berasal dari ras-ras Turki yang beragama Islam, terutama suku Uighur (45,21%) dan suku Kazakh (6,74%). Selain itu, di Xinjiang juga terdapat suku Cina Han, yang berjumlah sekitar 40,58% (sensus 2000). Persentase suku Han di Xinjiang meningkat secara drastis dari 6% saat berdirinya Republik Rakyat Cina (1949) hingga lebih dari 40% pada saat ini.

Perlawanan terhadap kekuasaan Cina telah berlangsung sejak lama di Xinjiang. Saat ini, kebanyakan pemimpin perlawanan berada di pengasingan, antara lain di Turki, Jerman dan Amerika Serikat. Kebanyakan gerakan ini adalah gerakan kesukuan yang sekuler, walaupun terdapat beberapa gerakan yang berideologi Islam. Sejak Peristiwa 11 September di Amerika Serikat, pemerintah Cina juga mengklaim terdapat gerakan terorisme internasional di Xinjiang, yang dituduh berkaitan dengan Gerakan Taliban di Afganistan. Menurut laporan pemerintah Cina di tahun 2002, setidaknya 57 orang tewas akibat serangan teroris di Xinjiang.

”Wah, pantas saja Yusuf sahabatku dapat perlakuan diskriminatif!” batinku setengah kesal. Seandainya ada pemerintahan Islam yang wilayahnya meliputi seluruh negeri muslim saat ini, tentu keadaan yang dialami Yusuf tidak akan terjadi. Umat muslim saat ini tidak leluasa menjalankan perintah Allah, karena benturan dengan aturan-aturan manusia yang tidak menghargai hak warga negara untuk taat beribadah.

”Halo!” Yusuf menyapaku. Tak terasa ia kutinggal lama untuk browsing tentang Xinjiang.
”Sori. Aku masih disini.”
”Bagaimana ramadhanmu, saudaraku?” tanya Yusuf.
Aku? Rasanya aku malu sekali pada Yusuf. Nun jauh di Xinjiang China sana, Yusuf harus berjuang melawan larangan pemerintah setempat untuk sholat tarawih. Ia tetap menjalankan ibadah sunnah itu dengan berjamaah meski secara sembunyi-sembunyi, sementara aku yang disini bebas sholat tarawih tapi enggan melakukannya. Atau lebih tepatnya malas, dengan sejuta alasan tentang pekerjaan. Ini membuatku memaklumi diri sendiri yang tidak bisa sholat tarawih di masjid.

”Aku... malu padamu Yusuf,” tulisku menjawab pertanyaannya.
”Malu?”
”Kau tahu, ini sudah hampir pertengahan ramadhan, tapi baru sekali aku sholat tarawih di masjid. Selebihnya kuhabiskan waktu di kantor, tenggelam dengan banyak pekerjaan.”
”Oh... sayang sekali. Padahal sholat berjamaah sangat dianjurkan. Kita bisa bertemu saudara kita, lebih khusyuk beribadah... Aku rindu Indonesia...” Yusuf mengakhiri tulisannya dengan icon wajah menangis.
”Kalau gitu, aku pamit dulu.”
”Waktunya buka puasa?” tanya Yusuf.
”Ya. Dan aku mau ke masjid untuk sholat tarawih.”
”Sampaikan salamku untuk saudara muslim disana.”
”Pasti!” jawabku mantap.
”Wassalamu’alaikum,” Yusuf mengakhiri chattingnya.
”Waalaikumsalam,” jawabku.

Buru-buru aku berkemas meninggalkan kantor. Sisa pekerjaan akan kuselesaikan di rumah setelah sholat tarawih di masjid.

”Mas Amir nggak jadi lembur?” tanya Joko, office boy di kantorku sambil membawa segelas kopi pesananku tadi.
”Aku mau lembur di masjid!” jawabku sambil tersenyum.

Masih ada setengah bulan ramadhan. Waktu yang pendek untuk mengoptimalkan ibadahku. Aku tak akan menyia-nyiakannya. Semoga masih ada ampunan dari Allah dan peluang pembebasan dari api neraka, dari Sang Maha Kuasa.
Terima kasih, Yusuf!.

Cerpen dimuat di www.suarasurabaya.net 12 September 2008

Tidak ada komentar: