Rabu, 15 Oktober 2008

ELIZABETH JADI FATIMAH

Oleh Tri Martha Herawati

Tidak sulit belanja kurma pada bulan ramadhan seperti ini. Di supermaket kampus pun ada, meski bukan jenis kurma rasul. Aku membeli beberapa bungkus kurma dalam jumlah banyak. Kurma-kurma ini untuk buka puasa bersama mahasiswa yang tergabung dalam Asosiasi Mahasiswa Muslim Universitas Queensland St. Lucia Brisbane Australia.

Need help?” seseorang menawarkan bantuan.
Begitu menoleh pada asal suara di belakangku, senyumku langsung melebar. Elizabeth memasang wajah ceria di belakangku. Gadis asli Brisbane ini memang suka menolong. Ia satu kelas Bahasa Indonesia denganku. Setahun terakhir kami sangat dekat, terutama sejak kami sering mendatangi pengajian muslimah di musholla kampus.

Sure, take it. I only have thirty minutes before ifthar,” kataku sambil menyerahkan keranjang berisi penuh kurma dan snack.
“Aku mau kurma,” Elizabeth merengek sambil menggodaku. Bahasa Indonesianya sangat fasih. Elizabeth termasuk mahasiswi yang cerdas dan sangat cepat menerima materi perkuliahan Bahasa Indonesia.
”Tunggu sampai buka puasa.”
“Aku puasa hari ini,” ucapan Elizabeth membuatku tercengang.
Are you kidding?”
I’m serious,” kata Elizabeth mencoba meyakinkanku.

”Untuk apa kamu puasa?” sengaja kutanyakan tentang niat Elizabeth berpuasa karena ia seorang non muslim.
”Kata Ustad Idris, puasa itu untuk Alloh. Aku benar kan?”
Elizabeth bisa bicara begitu setelah kemarin mengikuti dengan serius kajian Ustad Idris Syahrial dosen Bahasa Indonesia yang sering mengisi kajian Islam di musholla kampus. Dalam hati aku berharap, hidayah Alloh akan datang pada Elizabeth untuk berIslam.

Kami bergegas menuju musholla. Belasan mahasiswa sudah duduk di beberapa sudut musholla menunggu pengajian rutin yang dilaksanakan setengah jam sebelum buka puasa. Ustad Idris Syahrial yang mengisi kajian petang ini, sudah siap memberi ceramah.

”Assalamu’alaikum wr wb, sekarang kita akan membahas makna laa ilaaha Illallah. Kalimat ini sehari-hari kita lafadzkan dalam sholat atau dzikir. Tapi sudahkah kita terapkan lafadz itu dalam kehidupan kita sehari-hari,” Ustad Syahrial memulai ceramahnya.
”Apa tadi yang dikatakan ustad?” Elizabeth berbisik kepadaku.
”Laa ilaaha Illallah?”
”Ya.”
”Artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Setiap orang yang mengaku dirinya muslim, wajib mengucapkannya sebagai syarat ia berIslam. Kalimat itu juga dibaca dalam setiap kali sholat.”

Elizabeth mengangguk, tapi kulihat mimik wajahnya belum puas dengan penjelasanku. Kami pun kembali menyimak penjelasan Ustad Idris.
”Ilaah menurut arti bahasa adalah Al Ma’bud artinya yang patut disembah. Maka sebenarnya arti kata laa Ilaaha adalah laa ma’buuda yaitu Tuhan yang mewajibkan manusia untuk beribadah kepada Allah. Sebagai konsekuensi dari ibadah itu, seorang muslim harus tunduk, patuh dan tetap konsisten dengan keesaan Allah. Kalimat itu juga berarti, sebagai pencipta dan pengatur seluruh kehidupan manusia, Allah meminta, seluruh ibadah yang kita lakukan hanyalah untuk Allah. Tidak ada yang lain.”

Kulihat Elizabeth menganguk-angguk mendengar penjelasan Ustad Idris.
”Allah bukan hanya menciptakan manusia dan seluruh alam beserta isinya tapi Allah juga mengatur seluruh ciptaannya, termasuk manusia, kehidupan dan alam semesta. Dari masalah yang ringan, misalnya masuk kamar kecil, sampai masalah ekonomi, sosial, pendidikan dan semua persoalan ada aturannya dalam Islam. Bagi kita yang muslim, aturan itu wajib diterapkan. Sehingga sebenarnya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain melaksanakan aturan itu,” ceramah Ustad Syahrial.

”Apa Islam juga mengatur tentang kehidupan dengan non muslim?” tanya Elizabeth padaku.
”Dalam negara Islam, seperti yang dicontohkan Rasulullah, umat non muslim dilindungi keamanannya, harta dan jiwanya. Mereka bisa tetap melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya,” jawabku.
No discrimination?”

”Islam adalah agama yang damai. Tidak ada diskriminasi dalam Islam. Dalam surat Al Kafirun Allah berfirman, lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
”Kalau ingin menjadi seorang muslim, apa yang harus dilakukan?” Elizabeth bertanya serius.

”Dia harus mengucapkan kalimat syahadat. Dia juga harus melaksanakan semua perintah Allah, seperti sholat, puasa, zakat, menutup aurat, bahkan aturan tentang ekonomi, pemerintahan, keamanan, hubungan internasional dan lain-lain. Seorang muslim juga harus meninggalkan larangan Allah, seperti berzina, minum alkohol, riba dan lain-lain.”
”Oh..” Elizabeth tak meneruskan pertanyaannya. Kulihat banyak tanya menggantung di wajahnya.

Ustad Idris Syahrial mengakhiri ceramahnya satu menit sebelum waktu berbuka puasa. Aku dan Elizabeth buru-buru membagikan kurma dan snack yang kami bawa.
***

Malam takbiran tiba. Asosiasi Mahasiswa Muslim Universitas Queensland St. Lucia Brisbane menggelar takbiran bersama, mengumandangkan takbir tanda kemenangan menjelang idul fitri di musholla kampus.

Alhamdulillah, aku bisa menamatkan puasa. Tak terasa ramadhan telah berakhir. Rasanya belum banyak ibadah yang kulakukan untuk Allah. Di tengah kegembiraan menyambut syawal, terselip sedih dalam hatiku karena sangat cepat bulan ampunan itu berlalu. Belum tentu aku akan menemuinya tahun depan, tapi semoga Alllah menerima semua amalku.

Syawal kali ini, aku tidak pulang. Tidak ada libur panjang pada lebaran ini. Terlebih lagi jadwal kualiahku sangat padat, belum lagi menumpuk tugas-tugas yang harus kukerjakan.

”Assalamu’alaikum,” Muhammad Ilyas ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim Universitas Queensland St. Lucia Brisbane berbicara dengan pengeras suara. ”saudara-saudara, di kesempatan yang berbahagia ini, kita akan mendapatkan satu keluarga muslim baru, yang siang tadi telah menjadi mualaf dan mengucapkan kalimat syahadat dibimbing Ustad Idris Syahrial. Kita sambut Keluarga Usman,” begitu selesai Ilyas dengan kata-katanya, seorang lelaki dan perempuan bule paruh baya, berdiri. Di samping mereka seorang perempuan muda berkerudung putih dan bergamis biru tua.

”Perkenalkan saudara-saudara, ini Bapak dan Ibu Michael yang telah berganti nama menjadi Bapak dan Ibu Usman, serta putrinya Elizabeth, yang sekarang namanya Fathimah.”
Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruang musholla.

Aku tertegun melihat Fathimah. Subhanallah... Elizabeth telah berIslam. Ia tidak sendiri. Ia juga membawa ayah dan ibunya menjadi mualaf.

Aku segera berdiri menghampiri mereka. Fathimah langsung menyambutku dengan pelukan dan tangisnya. Ramadhan telah memberi hidayah pada Fathimah dan keluarganya. Idul Fitri memberi kesucian pada mereka untuk menempuh jalan Islam. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing mereka dalam keistiqomahan. Tak henti-henti aku bersyukur pada Allah SWT yang memberi anugerah dalam ramadhanNya yang indah.

Cerpen dimuat di www.suarasurabaya.net 23 September 2008

Tidak ada komentar: