Rabu, 15 Oktober 2008

Berkah Ramadhan

Oleh Tri Martha Herawati

Semakin hari aku semakin khawatir. Padahal selayaknya seorang bapak yang sedang menunggu kelahiran anak pertama yang sudah dinantikan selama dua tahun, seharusnya aku bahagia. Bahagia karena akhirnya aku punya keturunan. Punya generasi penerus dari keluarga Ali Akbar. Punya anak yang selama ini ditanya banyak orang, ’kapan punya anak’?


Sekarang ketika istriku hamil 9 bulan, aku malah khawatir kalau ia melahirkan. Bukan karena kondisi bayinya, karena dari hasil pemeriksaan bidan di puskesmas, kandungan istriku baik-baik saja. Keadaan istriku juga sehat. Tapi yang kukhawatirkan malah biaya melahirkan. Narto, tetangga sebelah rumah kontrakanku harus membayar tiga ratus ribu waktu istrinya melahirkan sebulan lalu.

”Itu sudah yang paling murah. Aku sudah kesana-kemari cari bidan yang murah. Tapi jangan harap pelayanannya baik,” cerita Narto waktu itu.
”Tapi buat aku, biaya segitu itu mahal sekali,” kataku menimpali. Bagaimana tidak mahal, sehari-hari aku hanya kuli panggul beras di pasar. Kalau ramai sehari-hari aku bisa bawa uang dua puluh ribu. Itu pun habis untuk makan sehari-hari, biaya kontrak rumah, listrik, dan cicilan hutang ke tetangga.

”Mau melahirkan saja kok mahal ya, To?”
”Ali, Ali... sekarang ini, apa yang nggak mahal? Apa yang nggak pakai duit? Semua harus bayar. Susah cari gratisan di jaman seperti ini...”

Ucapan Narto semakin membuatku nelangsa, menciutkan nyaliku. Aku sudah mencoba mencari pinjaman kesana kemari, tapi semua orang yang kutemui minta tambahan. Hutang seratus ribu bayarnya seratus sepuluh ribu. Bahkan ada yang harus bayar tambahan separuh dari uang yang dipinjam. Bukan soal sepuluh ribunya, tapi tambahan hutang itu kan riba namanya. Aku masih ingat betul waktu sekolah dulu ada pelajaran agama bahwa riba itu haram dan termasuk dosa besar. Sedikit ataukah banyak, yang namanya riba ya tetap dosa. Bahkan Rasulullah menyamakan dosa riba yang paling ringan itu seperti berzina dengan ibunya sendiri. Amit-amit!

Allahu Akbar.... Allahu Akbar....
Suara adzan sholat dzuhur terdengar dari masjid di pasar. Suara pak Ahmad, muadzin masjid terdengar penuh semangat meski setengah hari berpuasa, mengajak orang-orang yang sedang di pasar untuk sholat dzuhur berjamaah.

Aku segera melangkah menuju masjid. Aku ingin mengadu padaNya. Memohon kemudahan mendapatkan uang untuk biaya istriku melahirkan. Aku juga akan memohon untuk kelancaran kelahiran anakku. Karena dari beberapa cerita tetangga yang kudengar, kalau posisi si jabang bayi tidak pada letak yang benar, bisa operasi. Biayanya sampai jutaan. Masyaallah... dari mana aku dapat uang sebanyak itu.

”Ali,” seseorang menyapaku dari belakang.
Aku buru-buru menoleh pada suara yang sangat kukenal. Itu Abah Umar, juragan kelapa di pasar. ”Abah,” kuraih tangannya yang sudah keriput lalu menciumnya. Aku biasa melakukannya sebagai tanda hormatku pada orang tua yang dikenal dengan kemurahan hatinya itu.

Abah Umar tersenyum. ”Setelah sholat, temui saya di rumah. Ada pekerjaan buat kamu.”
Aku terperanjat. Inilah jawaban Allah atas keresahanku. “Pekerjaan apa, Bah?” tanyaku tak sabar.

”Nanti sore ada kiriman kelapa di gudang. Ada lima truk, mungkin lebih. Kamu mau bantu ngangkut kelapa ke pasar?”
”Wah, mau sekali, Bah! Nanti saya ke tempat Abah,” kataku semangat.
Abah Umar tersenyum.
----

Menjelang maghrib pekerjaanku selesai. Lima truk sudah kuturunkan ratusan kelapa di gudang Abah Ali. Sebagian kuangkut ke truk kecil, sebagian lainnya disimpan di gudang.

Abah Umar menghampiriku. Ia membawakanku segelas teh manis untuk buka puasa. Semenit kemudian, adzan maghrib bergema. Kuhabiskan teh manis di tanganku, setelah sebelumnya mengucap doa berbuka puasa.

”Kudengar istrimu sedang hamil besar. Mau melahirkan dimana, Li?” tanya Ummi Aisyah.
”Itu yang sedang saya pikirkan. Biayanya besar sekali. Saya sudah pernah minta surat keringanan tapi kata pegawai rumah sakit, jatah untuk orang miskin sudah habis,” kuceritakan pengalamanku betapa sulitnya mencari Askeskin untuk istriku.

Kadang terpikir olehku, benar juga kalau ada yang bilang, ’orang miskin dilarang sakit’. Ya, itu karena biaya untuk sembuh sangat mahal dan tidak terjangkau. Bisa juga kalimat itu bertambah, ’orang miskin dilarang punya anak’. Karena kalau punya anak biaya untuk melahirkan bisa sangat mahal dan tak terjangkau untuk orang-orang seperti aku yang miskin.

”Jaman kok susah begini. Yang miskin harusnya dibantu, diberi fasilitas yang layak untuk kesehatan. Apalagi ini ada ibu-ibu yang mau melahirkan calon pemimpin bangsa. Kok malah dibuat susah,” Abah Umar menggerutu.
”Saya juga nggak ngerti, Bah.”
”Kalau aku baca sejarah Islam, dulu di masa pemerintahan Islam dibawah pimpinan Rasulullah, para Khulafaur Rasyidin dan kholifah lainnya, yang namanya fasilitas kesehatan disediakan untuk semua rakyat. Yang miskin dan kaya, semua diberi pelayanan yang baik, nggak usah bayar alias gratis.”

”Apa iya, Bah? Uang dari mana?”
”Itu karena pemerintahan Islam dulu mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Negeri-negeri Islam itu kaya-kaya lho, Li. Jadi yang namanya biaya pendidikan dan kesehatan untuk rakyat digratiskan. Makanya, pada masa itu semua bisa sekolah, dunia pendidikan maju pesat, dan rakyat sehat karena tidak perlu bayar mahal. Semua ditanggung negara.”
Abah Umar menghela napas dalam.

”Negeri kita kaya sumber daya alam. Kalau saja cara mengelolanya sesuai aturan Allah, pasti bisa juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat.”

”Seandainya... aku hidup di masa itu, pasti tidak akan kesulitan pontang-panting mencari uang untuk membiayai kelahiran anakku...” batinku.

Makan malam selesai. Nasi dan lauk di piringku juga sudah tuntas.
”Ini untukmu, Ali. Lima ratus ribu,” Abah Umar memberiku amplop dengan isi yang lumayan tebal.

Lima ratus ribu? Seumur-umur belum pernah aku mendapatkan uang sebanyak itu. Padahal kerjaku tadi juga tidak seberapa.
”Kok banyak sekali. Bah?”
”Ini upah kamu tadi dan hadiah untuk anakmu. Ini rizki dari Allah. Terima saja,” Abah Umar melipat jari-jari tangan kananku untuk memegang amplop itu erat-erat.
Tak sabar aku ingin sampai di rumah. Ingin kuceritakan pada istriku tentang kemurahan Allah yang telah memberi kami rizki berlimpah hari ini. Dalam perjalanan air mataku tak putus berderai terharu. Allah mengabulkan segala doa yang dipanjatkan dengan ikhlas. Allah memberi lebih banyak dari yang diminta seorang hamba sepertiku. Subhanallah.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 2 September 2008

Tidak ada komentar: