Rabu, 15 Oktober 2008

Kasih Yang Abadi

Dimuat di Oase Iman, Eramuslim, 7 Pebruari 2008

Jika mengharap kasih sayang orang tua, mungkin aku adalah orang yang paling merana. Ayah dan ibuku masih sehat wal afiat. Bahkan saking sehatnya mereka seringkali meninggalkan aku dengan alasan bisnis. Mencari uang untuk aku, untuk biaya pendidikanku, semua untuk masa depanku kelak. Alasan-alasan klise, menurutku. Sejak kecil, ayah dan ibu memberiku materi berlimpah. Mulai dari mainan, makanan, pakaian dan perhiasan serba mewah. Sampai sekarang pun ketika beranjak dewasa, materi melimpahiku hingga tidak ada kekurangannya. Inilah cara orang tuaku mencintaiku. Mereka mencukupkan kasih sayangnya dengan uang, dengan mobil BMW keluaran terbaru, dengan segala fasilitas yang aku inginkan.

Tapi, aku tetap dalam kering akan kasih sayang. Disaat aku membutuhkan seseorang tempat aku mencurahkan segala isi hatiku, ibu hanya menyediakan waktu tidak lebih dari sepuluh menit. Itu pun melalui handphone. “Ibu lagi sibuk, ngertiin dong…” begitu alasan ibu.
Aku selalu mencoba mengerti kesibukan kedua orang tuaku. Aku selalu mencoba menghitung-hitung kasih sayang yang mereka tawarkan, namun selalu tidak genap timbangannya. Karena aku selalu kekurangan akan kehadiran mereka di sisiku. Sementara ketika mereka tenggelam dalam kesibukannya, pernahkah berpikir tentang aku?

Mbok Parmi yang mengasuhku sejak kecil sering meredam marahku. Perempuan usia setengah abad ini dengan sabar menemaniku. Ia ada ketika aku membutuhkan belai kasih sayang. Ia ada ketika badanku panas akibat demam tinggi. Ia selalu ada untukku kapanpun aku membutuhkannya. Tidak perlu membatasi waktu sepuluh menit. Pada Mbok Parmi aku bisa bercerita sepuasku. Padanya aku bisa menumpahkan resah hatiku. Sering air mataku tumpah ketika sedang menceritakan isi hatiku. Dengan sabar, Mbok Parmi membelaiku. Meletakkan kepalaku di pundaknya. “Sabar ya sayang… Allah pasti memberi jalan keluar terbaik untuk kita…” katanya lembut di telingaku. Jika sudah begitu, rasa damai mendera hatiku. Meruntuhkan marahku. Mengusir semua resahku. Aku pun tenang, damai.

Dari Mbok Parmi, aku mengenal Tuhan. Sejak kecil, Mbok Parmi mengajariku mengaji. Mengajariku dengan telaten huruf-huruf hijaiyah hingga fasih aku melafadkannya. Mbok Parmi juga telaten mengajariku hapalan surat-surat pendek. Ia mengajariku sholat, menguatkanku ketika sedang lapar saat puasa, menceritakan keagungan Allah, ketaatan Rasulullah dan para sahabatnya, juga kemuliaan orang-orang yang menerima qadla Illahi.

Karena itu, bagiku tak masalah dimana ayah dan ibuku kini. Tak bersama merekapun aku menemukan figur orang tua lain pada Mbok Parmi. Aku cukup tenang dengan keberadaannya di sisiku selama ini. Sampai suatu hari, pulang kuliah kudapati tubuh Mbok Parmi terbujur kaku di tempat tidurnya. Tangannya dingin dan matanya tertutup rapat. Diantara wajahnya yang pucat, kulihat senyumnya yang khas. Senyum yang selalu ia tawarkan ketika menyambutku pulang dari bepergian. “Sabar ya Dinda, Mbok Parmi sudah pergi dengan tenang…” lirih suara Ibu di sampingku.

Bulir air mata membahasi mataku. Malam sebelumnya Mbok Parmi sempat mengeluh sesak napas. Meski dalam kondisi sakit, Mbok Parmi masih sempat menasihatiku. “Non Dinda, harus yakin. Allah SWT selalu bersama kita, jika kita pun ingin mendekat padaNya. Allah tidak akan meninggalkan kita sekejap pun.”

Kini aku tahu makna kata-kata Mbok Parmi semalam. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kasih sayang orang tua yang sangat kuharapkan, tidak kutemui. Bahkan kasih sayang yang selama ini kudapat dari Mbok Parmi, kini tak kumiliki lagi. Tapi satu hal yang kuyakini, Allah tak pernah menyudahi cintaNya padaku. Allah tak pernah meninggalkanku sekejap pun. Meski Mbok Parmi pergi menghadapNya, aku masih memiliki Allah yang senantiasa menjagaku dengan kasih sayangNya yang abadi.

Oleh Tri Martha Herawati

Pulang

Oleh Tri Martha Herawati

Ini tahun ketiga aku tidak pulang ke rumah saat lebaran. Ketika sebagain besar orang mudik lebaran ke kampung halaman bertemu keluarga dan sanak saudara, aku malah menghabiskan cuti lebaran untuk liburan ke Bali. Ketika sebagian orang mati-matian berkorban untuk bisa pulang kampung, aku malah menghindari pertemuan keluarga, terutama dengan ibu dan ayah.
Bukannya aku tidak rindu pada mereka. Kerinduan ini selalu datang menghampiriku setiap saat. Tapi pilihanku untuk tidak pulang ke rumah adalah bentuk protesku pada ayah dan ibu yang memutuskan bercerai tanpa meminta pertimbanganku.
Selama ini aku melihat, tidak ada yang salah dalam hubungan ayah dan ibuku. Dalam dua puluh lima tahun pernikahan mereka, aku tidak pernah melihat perang besar diantara mereka. Aku pun merasa nyaman dengan kondisi keluargaku, sampai suatu saat ayah dan ibu mendudukkanku dan menjelaskan kesepakatan mereka untuk mengakhiri pernikahan. Tidak ada alasan yang cukup rasional untuk kumengerti tentang perpisahan mereka. Ayah dan ibu bilang, sudah tidak ada kecocokan. Aku tak habis mengerti, kecocokan seperti apa yang diharapkan sampai-sampai jalan cerai dianggap yang terbaik.
”Nes, kamu bener-bener nggak pengin mudik?” Astri melihatku aneh. Sementara ia sibuk mengemasi barang-barang bersiap pulang kampung, aku malah tenang-tenang saja dalam kamar.
”Nggak,” jawabku pendek.
”Emang kamu nggak punya orang tua, saudara, atau keluarga yang bisa dikunjungi?” tanya Astri menyelidik. Aku memang tak banyak cerita tentang keluargaku. Aku tak ingin orang lain tahu tentang kondisi keluargaku yang broken home.
“Ada. Tapi nggak pengin ketemu.”
”Lho?”
Astri mendekatiku dan duduk di sampingku.
”Kamu harus minta maaf pada mereka, karena kamu selama ini tidak menganggap keberadaan mereka.”
”Bukan aku yang harus minta maaf, tapi mereka yang harus minta maaf sama aku!”
”Masya Allah, Nes. Jangan egois gitu dong. Allah saja Maha Memaafkan, masa kita yang cuma seorang hamba tidak mau memaafkan? Apalagi itu keluarga kita sendiri,” Astri mencoba menasihatiku.
”Ya, itu urusan mereka sama Allah. Urusan mereka sama aku lain ceritanya.”
”Ines, istighfar...” Astri mengelus pundakku.
Aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Cukup lama aku tak membuka pintu maaf. Bahkan lebaran kali ini pun tidak.
***

Takbir jelang idul fitri berkumandang bersahut-sahutan dari beberapa masjid dekat tempat kosku. Hanya tinggal aku sendiri dan ibu kos di rumah ini. Semua teman-temanku sudah mudik pulang ke kampung masing-masing.
”Nak Ines, nggak mudik?” Bu Rahma, ibu kos yang ramah membawakan pisang goreng sisa buka puasa ke dalam kamarku.
”Nggak, Bu. Ibu sendiri, nggak mudik?”
”Ibu sudah nggak punya saudara lagi. Kalau pun ada, jauh di luar pulau. Berat di ongkos kalau harus mengunjungi mereka. Silaturahmi hanya melalui telepon.”
”Anak ibu?”
”Anak ibu merantau jadi TKI di Malaysia. Sudah lima tahun dia disana, nggak ada kabar. Ibu kangen sekali,” mata Bu Rahma berkaca-kaca.
Aku jadi teringat ibu. Terakhir aku pergi dari rumah dengan ribut besar tiga tahun lalu, kutinggalkan ibu yang berurai air mata. Kadang aku kangen sekali pada ibu, tapi selama ini ego dalam diriku yang lebih menguasai. Aku pun harus menahan diri untuk tidak pulang meski harus kuakui aku rindu pada ayah dan ibu.
”Beginilah hati seorang ibu. Dimanapun anaknya berada, hatinya tak pernah lelah merindu. Setiap mengingatnya, semakin besar rasa rindu itu,” Bu Rahma sesenggukan sambil sesekali mengusap air matanya.
Sosok ibuku seakan hadir di hadapanku. Ibu menangis menahan rindu padaku yang pergi tanpa kabar selama tiga tahun. Hatiku pun mulai luluh. Diantara kumandang takbir, kuputuskan pulang untuk mengurai segala persoalan dan berharap maaf atas salahku.
***

Rumahku tak berubah. Hanya cat putihnya mulai memudar. Pohon mangga di depan rumah pun masih ada dan mulai berbuah meski tidak terlalu lebat. Perlahan kubuka pintu pagar yang tidak terkunci. Aku berharap, orang pertama yang akan membuka pintu untukku adalah ibu. Saat itu terjadi, aku ingin memeluknya dan minta maaf atas kepergianku selama tiga tahun tanpa kabar.
Setelah beberapa kali mengetuk, pintu rumah mulai terbuka.
”Ines!!” Tante Ana nampak tercengang melihatku. Sesaat kemudian kami berpelukan. Tante Ana menangis.
”Syukurlah kamu pulang. Selama ini kami mencari kamu, Nes,” Tante Ana mengajakku duduk di kursi tamu.
”Tante sendirian?” tanyaku pada Tante Ana karena melihat keadaan rumah sangat sepi.
”Ya,” jawab Tante Ana pendek.
”Ibu?”
”Ibumu...”
”Ibu pergi, Tante?”
Tante Ana mengangguk.
”Kemana?”
Tiba-tiba Tante Ana memelukku. Tangisnya pecah di pundakku. ”Ikutlah dengan Tante,” Tante Ana mengajakku pergi.
”Kita kemana, Tante?”
”Ke tempat ibumu.”
Aku hanya menurut. Kuikuti Tante Ana pergi ke suatu tempat.
***

Tante Ana mengajakku ke tempat pemakaman.
”Ngapain kita kesini, Tante?”
”Ketemu ibumu.”
”Sejak kapan ibu jadi penjaga makam?”
Tante Ana tak menjawabku. Tanganku diseretnya menyusuri jalan makam yang sempit. Di sebuah gundukan tanah, Tante Ana berhenti. Ia mengajakku duduk berjongkok.
”Tante, kita mau ketemu ibu kan?”
”Ya.”
”Ngapain kita disini?”
”Karena ibumu disini, Nes. Beliau meninggal setahun yang lalu.”
”Nggak mungkin, Tante!”
”Kami tidak tahu bagaimana memberi tahu kamu, karena kamu pergi tanpa kabar dan tidak pernah pulang. Sejak kamu pergi dari rumah, ibumu sakit-sakitan. Apalagi setelah ayahmu meninggal karena kecelakaan. Ibumu sangat kehilangan tapi tidak tahu harus mencari kamu dimana....”
Tiba-tiba semua gelap. Kata-kata Tante Ana tak bisa selesai kudengar. Aku tak sadarkan diri. Sejuta sesal menggumpal dibenakku. Ya Rabb, ampuni aku...
***

Kang Marjoni Pulang Kampung

Oleh Tri Martha Herawati

Kang Marjoni pulang kampung. Kabar itu terdengar ke semua rumah di desaku. Kang Marjoni mudik lebaran setelah setahun lebih merantau di kota. Banyak diantara penduduk desa yang terkagum-kagum dengan penampilan baru Kang Marjoni. Penampilan Kang Marjoni memang berbeda dengan setahun lalu ketika ia pamit pergi ke kota untuk merantau. Bajunya lusuh dengan sepatu butut. Ia hanya membawa satu tas dan uang pas-pasan untuk naik bis. Tapi sekarang, penampilannya cukup mentereng. Rambut disisir licin, kacamata hitam, kalung emas melingkar di leher, sepatu hitam mengkilap ditambah mobil mewah. Karena itu penduduk desa menyambut kedatangan Kang Marjoni bak artis ibukota.
”Kamu nggak ke rumah Pak Marjono, Nis,” Mbak Siti tetanggaku menyapaku. Di tangannya ada amplop putih yang sengaja ditunjukkan padaku. ”Tiap orang dapat amplop lho. Nih, dua puluh ribu!”
”Kang Marjoni banyak duit ya Mbak?”
”Dia sudah jadi orang kaya sekarang,” Mbak Siti cerita tentang Kang Marjoni dengan antusias.
”Kerjaannya apa Mbak? Kok cepet banget jadi orang kaya?”
”Waduh, aku tadi nggak tanya. Ah nggak penting itu. Yang penting duitnya!” Mbak Siti berlalu dari hadapanku. Beberapa kali amplop putih diciuminya.
***

Baru tiga hari Kang Marjoni pulang kampung, rumahnya mirip pasar malam. Hampir tak pernah sepi, setiap saat ada saja yang datang berkunjung. Hanya sekedar tanya kabar, sampai pinjam uang untuk bayar hutang.
Tak terkecuali Pakde Saeran. Lelaki tua separuh baya itu sejak sore sudah nongkrong di teras rumah Kang Marjoni. Begitu si pemilik rumah muncul, Pakde saeran langsung menyambut dengan senyum yang dibuat seramah mungkin. Bahkan tak segan Pakde Saeran cium tangan Kang Marjoni.
”Ada apa, Pakde?”
”Anu, Mar...”
”Eh, Pakde! Jangan panggil Mar dong. Panggil Joni gitu!” Kang Marjoni tersinggung dipanggil Mar, meski dulu ia tak keberatan semua orang di desa kami memanggilnya Kang Mar.
”Eh, iya Nak Joni yang baik hati...” Pakde Saeran mencoba merayu. ”Gini, Nak Joni, Pakde mau pinjam uang. Nak Joni kan sudah sukses. Mbok ya Pakde ini dibantu untuk bayar hutang,” Pakde Saeran bicara dengan hati-hati.
”Mau pinjam berapa?”
Mata Pakde Saeran berbinar-binar. ”Nggak banyak, kok Nak Joni, hanya lima ratus ribu saja.”
”Lima ratus ribu itu banyak Pakde! Memangnya duit tinggal panen di kebon apa?!”
“Eh, iya ya… banyak juga Nak Joni.”
”Boleh lah, lima ratus ribu. Tapi kembali tiga bulan ya?”
”Kok cepat sekali. Kalau lima bulan gimana?”
”Boleh. Tapi kembali ke saya jadi satu juta. Gimana?”
”Walah Nak! Itu duit semua?”
”Kalau nggak mau ya sudah,” Kang Marjoni berdiri siap beranjak dari kursi.
”Eh, iya nak. Satu juta, lima bulan kan?”
Kang Marjoni mengangguk. Uang lima ratus ribu dikeluarkannya dari dalam dompet. Kang Marjoni minta Pakde Saeran menandatangani surat perjanjian hutang. Satu diantara pasalnya menyatakan, jika Pakde Saeran tidak mampu membayar hutang dalam waktu satu tahun, rumah miliknya akan disita.
”Gimana Pakde, setuju kan?”
Pakde Saeran mengangguk terpaksa. Dan transaksi riba itu pun terjadilah.
***

Dini hari, ketenangan di desaku diusik oleh puluhan mobil polisi. Suasana desa yang masih khusyuk merayakan Idul Fitri berubah tegang di depan rumah Kang Marjoni.
”Joni keluar! Menyerahlah! Kamu sudah dikepung!”
Aku mengintip dari jendela nako di ruang tamu. Beberapa meter dari rumahku, puluhan orang berseragam coklat dan bersenjata api menodongkan pistol ke arah rumah Kang Marjoni.
Dalam beberapa menit, tidak ada penghuni rumah yang keluar. Kang Marjoni yang dipanggil-panggil polisi juga tidak menampakkan batang hidungnya.
Setelah berunding beberapa saat, puluhan polisi menyerbu masuk ke dalam rumah. Sempat terdengar suara ribut dari dalam rumah.
Dor! Dor!
Suara tembakan beruntun mengakhiri kegaduhan di rumah Kang Marjoni. Sesaat sunyi.
Bapak yang sejak sore tidur di kamar terbangun. ”Ada apa, Nis?”
”Polisi menyerbu rumah Kang Marjoni,” kataku tanpa melepas pandangan mata ke arah rumah Kang Marjoni.
”Kok ada suara dar dor?”
”Ada yang ditembak, Pak!”
”Hah!” Bapak mengikutiku mengintip dari jendela.
Kami melihat puluhan polisi keluar masuk rumah Kang Marjoni. Setengah jam kemudian beberapa polisi menggotong tubuh yang bersimbah darah.
”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...”
”Itu Marjoni!”
***

Pagi harinya seluruh warga desa ribut. Ratusan orang mendatangi rumah Kang Marjoni untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Pakde Marjono ayah Kang Marjoni beberapa kali pingsan mendapati jenazah anaknya yang bersimbah darah diterjang peluru polisi. Beberapa warga saling berbisik tentang kesalahan Kang marjoni hingga berakhir ajalnya dengan timah panas polisi.
”Dia perampok!”
”Korbannya sudah banyak, kadang juga dibunuh!”
”Raja tega!”
”Marjoni itu buronan polisi!”
”Jadi duitnya banyak itu dari hasil merampok?!”
”Dia juga rentenir! Masa saya hutang lima ratus ribu, harus mengembalikan satu juta!” kali ini Pakde Saeran yang bersungut-sungut.
***

Kadang, orang tak segan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi. Bahkan puasa pun tak mampu menghentikan hasrat orang melakukan apapun untuk mendapatkan materi. Cara halal dan haram seakan tidak punya batasan jelas. Karena mata hati telah dibutakan oleh keinginan-keinginan sesaat.
Sebenarnya, selama bulan puasa Allah telah membelenggu setan-setan. Tapi ternyata masih banyak orang melakukan kemaksiatan. Bukan karena bujuk rayu setan, tapi karena manusia telah mewarisi perilaku setan.
Aku teringat ceramah Ustad Hasan ketika menyitir surat Ali Imran ayat 33, ”Dan bersegeralah kamu pada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Berkah Ramadhan

Oleh Tri Martha Herawati

Semakin hari aku semakin khawatir. Padahal selayaknya seorang bapak yang sedang menunggu kelahiran anak pertama yang sudah dinantikan selama dua tahun, seharusnya aku bahagia. Bahagia karena akhirnya aku punya keturunan. Punya generasi penerus dari keluarga Ali Akbar. Punya anak yang selama ini ditanya banyak orang, ’kapan punya anak’?


Sekarang ketika istriku hamil 9 bulan, aku malah khawatir kalau ia melahirkan. Bukan karena kondisi bayinya, karena dari hasil pemeriksaan bidan di puskesmas, kandungan istriku baik-baik saja. Keadaan istriku juga sehat. Tapi yang kukhawatirkan malah biaya melahirkan. Narto, tetangga sebelah rumah kontrakanku harus membayar tiga ratus ribu waktu istrinya melahirkan sebulan lalu.

”Itu sudah yang paling murah. Aku sudah kesana-kemari cari bidan yang murah. Tapi jangan harap pelayanannya baik,” cerita Narto waktu itu.
”Tapi buat aku, biaya segitu itu mahal sekali,” kataku menimpali. Bagaimana tidak mahal, sehari-hari aku hanya kuli panggul beras di pasar. Kalau ramai sehari-hari aku bisa bawa uang dua puluh ribu. Itu pun habis untuk makan sehari-hari, biaya kontrak rumah, listrik, dan cicilan hutang ke tetangga.

”Mau melahirkan saja kok mahal ya, To?”
”Ali, Ali... sekarang ini, apa yang nggak mahal? Apa yang nggak pakai duit? Semua harus bayar. Susah cari gratisan di jaman seperti ini...”

Ucapan Narto semakin membuatku nelangsa, menciutkan nyaliku. Aku sudah mencoba mencari pinjaman kesana kemari, tapi semua orang yang kutemui minta tambahan. Hutang seratus ribu bayarnya seratus sepuluh ribu. Bahkan ada yang harus bayar tambahan separuh dari uang yang dipinjam. Bukan soal sepuluh ribunya, tapi tambahan hutang itu kan riba namanya. Aku masih ingat betul waktu sekolah dulu ada pelajaran agama bahwa riba itu haram dan termasuk dosa besar. Sedikit ataukah banyak, yang namanya riba ya tetap dosa. Bahkan Rasulullah menyamakan dosa riba yang paling ringan itu seperti berzina dengan ibunya sendiri. Amit-amit!

Allahu Akbar.... Allahu Akbar....
Suara adzan sholat dzuhur terdengar dari masjid di pasar. Suara pak Ahmad, muadzin masjid terdengar penuh semangat meski setengah hari berpuasa, mengajak orang-orang yang sedang di pasar untuk sholat dzuhur berjamaah.

Aku segera melangkah menuju masjid. Aku ingin mengadu padaNya. Memohon kemudahan mendapatkan uang untuk biaya istriku melahirkan. Aku juga akan memohon untuk kelancaran kelahiran anakku. Karena dari beberapa cerita tetangga yang kudengar, kalau posisi si jabang bayi tidak pada letak yang benar, bisa operasi. Biayanya sampai jutaan. Masyaallah... dari mana aku dapat uang sebanyak itu.

”Ali,” seseorang menyapaku dari belakang.
Aku buru-buru menoleh pada suara yang sangat kukenal. Itu Abah Umar, juragan kelapa di pasar. ”Abah,” kuraih tangannya yang sudah keriput lalu menciumnya. Aku biasa melakukannya sebagai tanda hormatku pada orang tua yang dikenal dengan kemurahan hatinya itu.

Abah Umar tersenyum. ”Setelah sholat, temui saya di rumah. Ada pekerjaan buat kamu.”
Aku terperanjat. Inilah jawaban Allah atas keresahanku. “Pekerjaan apa, Bah?” tanyaku tak sabar.

”Nanti sore ada kiriman kelapa di gudang. Ada lima truk, mungkin lebih. Kamu mau bantu ngangkut kelapa ke pasar?”
”Wah, mau sekali, Bah! Nanti saya ke tempat Abah,” kataku semangat.
Abah Umar tersenyum.
----

Menjelang maghrib pekerjaanku selesai. Lima truk sudah kuturunkan ratusan kelapa di gudang Abah Ali. Sebagian kuangkut ke truk kecil, sebagian lainnya disimpan di gudang.

Abah Umar menghampiriku. Ia membawakanku segelas teh manis untuk buka puasa. Semenit kemudian, adzan maghrib bergema. Kuhabiskan teh manis di tanganku, setelah sebelumnya mengucap doa berbuka puasa.

”Kudengar istrimu sedang hamil besar. Mau melahirkan dimana, Li?” tanya Ummi Aisyah.
”Itu yang sedang saya pikirkan. Biayanya besar sekali. Saya sudah pernah minta surat keringanan tapi kata pegawai rumah sakit, jatah untuk orang miskin sudah habis,” kuceritakan pengalamanku betapa sulitnya mencari Askeskin untuk istriku.

Kadang terpikir olehku, benar juga kalau ada yang bilang, ’orang miskin dilarang sakit’. Ya, itu karena biaya untuk sembuh sangat mahal dan tidak terjangkau. Bisa juga kalimat itu bertambah, ’orang miskin dilarang punya anak’. Karena kalau punya anak biaya untuk melahirkan bisa sangat mahal dan tak terjangkau untuk orang-orang seperti aku yang miskin.

”Jaman kok susah begini. Yang miskin harusnya dibantu, diberi fasilitas yang layak untuk kesehatan. Apalagi ini ada ibu-ibu yang mau melahirkan calon pemimpin bangsa. Kok malah dibuat susah,” Abah Umar menggerutu.
”Saya juga nggak ngerti, Bah.”
”Kalau aku baca sejarah Islam, dulu di masa pemerintahan Islam dibawah pimpinan Rasulullah, para Khulafaur Rasyidin dan kholifah lainnya, yang namanya fasilitas kesehatan disediakan untuk semua rakyat. Yang miskin dan kaya, semua diberi pelayanan yang baik, nggak usah bayar alias gratis.”

”Apa iya, Bah? Uang dari mana?”
”Itu karena pemerintahan Islam dulu mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Negeri-negeri Islam itu kaya-kaya lho, Li. Jadi yang namanya biaya pendidikan dan kesehatan untuk rakyat digratiskan. Makanya, pada masa itu semua bisa sekolah, dunia pendidikan maju pesat, dan rakyat sehat karena tidak perlu bayar mahal. Semua ditanggung negara.”
Abah Umar menghela napas dalam.

”Negeri kita kaya sumber daya alam. Kalau saja cara mengelolanya sesuai aturan Allah, pasti bisa juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat.”

”Seandainya... aku hidup di masa itu, pasti tidak akan kesulitan pontang-panting mencari uang untuk membiayai kelahiran anakku...” batinku.

Makan malam selesai. Nasi dan lauk di piringku juga sudah tuntas.
”Ini untukmu, Ali. Lima ratus ribu,” Abah Umar memberiku amplop dengan isi yang lumayan tebal.

Lima ratus ribu? Seumur-umur belum pernah aku mendapatkan uang sebanyak itu. Padahal kerjaku tadi juga tidak seberapa.
”Kok banyak sekali. Bah?”
”Ini upah kamu tadi dan hadiah untuk anakmu. Ini rizki dari Allah. Terima saja,” Abah Umar melipat jari-jari tangan kananku untuk memegang amplop itu erat-erat.
Tak sabar aku ingin sampai di rumah. Ingin kuceritakan pada istriku tentang kemurahan Allah yang telah memberi kami rizki berlimpah hari ini. Dalam perjalanan air mataku tak putus berderai terharu. Allah mengabulkan segala doa yang dipanjatkan dengan ikhlas. Allah memberi lebih banyak dari yang diminta seorang hamba sepertiku. Subhanallah.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 2 September 2008

Jerat Duniawi

Oleh Tri Martha Herawati

Amplop coklat besar itu sejak sore tadi ada di atas meja. Di dalamnya ada setumpuk uang. Aku tak menghitung jumlahnya, tapi kata Pak Yamin isinya seratus juta.


“Terima saja, Bi. Jarang-jarang lho kita bisa punya uang sebanyak ini,” kata Pak Yamin sore tadi. “Kamu tidak perlu melakukan apapun, hanya diam saja. Ok?”
Aku tidak menolak tapi juga tidak mengiyakan.

Sebagai staf keuangan di instansi pemerintah posisiku memang sangat strategis. Strategis juga untuk dimanfaatkan. Termasuk untuk dibungkam dengan tumpukan uang seratus juta. Aku tahu, ada pos keuangan yang fiktif dalam perhitungan kas. Aku pun tahu pos keuangan fiktif itu digunakan untuk anggaran suap pihak-pihak terkait yang memberi persetujuan pada pengalihfungsian lahan terbuka hijau untuk pendirian mall di tengah kota.

Aku memang tidak terlibat langsung dalam proyek itu. Tapi menurut Pak Yamin, diamku telah banyak membantu. Ini yang namanya suap itu? Ribuan kali kalimat itu terngiang di telingaku.

Harus kuakui, kondisi keuanganku sedang sulit. Aku harus membayar biaya perawatan ibu yang harus cuci darah seminggu sekali. Sebagian harta berharga milik keluarga sudah habis terjual untuk biaya itu. Bahkan motor yang sehari-hari kupakai untuk pergi ke kantor harus tergadai untuk beberapa waktu.

Bila ingat kondisi ibu, aku tak mampu menahan diri untuk tidak mengambil amplop berisi uang seratus juta itu. Keberanianku muncul. Hanya dalam hitungan detik amplop yang semenjak sore hanya ada di atas meja, kini telah beralih dalam tas kerjaku. Aku pulang dengan berat hati, sambil berpikir alasan yang akan kukatakan pada istriku tentang asal usul uang ini.
***

“Seratus juta, Mas?!” Aisyah, istriku terperanjat melihat amplop coklat yang kuserahkan padanya.
“Itu cukup untuk biaya itu, nebus sepeda motor di pegadaian. Juga untuk biaya sekolah anak-anak,” kataku mencoba meyakinkannya.
“Tapi, uang ini dari mana, Mas?”
“Sudah. Nggak usah tanya!”
“Halal?” Aisyah mencari jawaban dari mataku. Aku tak berani menatapnya. Ia bisa marah besar kalau tahu dari mana uang sebanyak itu kudapatkan.
“Jawab dulu, Mas. Uang ini halal atau haram?”
Aku terdiam.
“Jujur, Mas!”

Aku tak menjawabnya.
“Kalau begitu, aku tidak mau menerimanya. Biarlah kita kesulitan membiayai ibu dan sekolah anak-anak, asalkan tidak makan uang haram!”
“Itu pemberian Pak Yamin.”
“Mas kerja apa sampai dapat uang sebanyak ini?”
“Aku tidak kerja apa-apa.”
“Bohong!”
“Beneran, Dek.”
“Kalau begitu, kembalikan uang ini pada Pak Yamin,” Aisyah memberikan amplop uang itu ke tanganku.
“Tapi aku nggak kuat lagi membiayai ibu. Apalagi yang bisa kita jual? Kita sudah habis-habisan. Mumpung ada kesempatan, uang ini bisa menolong kita.”

“Hanya Allah yang bisa menolong kita, Mas. Bukan uang haram ini!” nada bicara Aisyah meninggi.
Aku membisu di sudut kamar.
“Jangan pernah ragu pada kekuasaanNya. Saat ini Allah sedang menguji kita, Mas. Kesulitan kita tidak ada artinya, dengan kekuatan iman yang akan selalu ditambahkan Allah jika kita mampu melalui ujian ini dengan baik. Kesenangan kita hanya sesaat, namun penderitaan kita akan panjang di akhirat kalau kita ambil uang haram ini.”
“Terus gimana?”
“Mas Ridwan harus mengembalikan uang ini ke Pak Yamin.”
“Tapi…”
“Pergilah ke Pak Yamin sekarang. Jangan biarkan uang ini berlama-lama di rumah kita,” Aisyah menuntunku keluar kamar. Wajahnya meyakinkanku.
Malam itu, aku dan Aisyah ke rumah Pak Yamin di kawasan perumahan elit di wilayah selatan kota.
***

Lima mobil berjajar di depan rumah Pak Yamin yang besar. Ada belasan orang berpakaian preman hilir mudik di dalam rumah. Beberapa orang menelepon, lainnya berjaga di luar pagar.
“Anda siapa?” seseorang diantara mereka mendekatiku.
“Saya Ridwan, staf Pak Yamin.”
“Ada keperluan apa?” orang berkumis tebal itu menyorot amplop besar di tanganku.
“Mau mengembalikan…”
“Kami dari KPK,” laki-laki itu memotong kalimatku. “Pak Yamin harus ditahan atas kasus korupsi senilai dua miliar rupiah.”
Aku dan Aisyah saling berpandangan. Seluruh tubuhku gemetar mendengar kalimat petugas KPK itu.

“Anda mau mengembalikan apa?” tanya petugas KPK.
“Ini,” kuberikan amplop berisi uang.
“Anda ikut saya,” pertugas KPK itu mengajakku masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, kulihat Pak Yamin hanya berdiri mematung. Wajahnya pucat pasi. Sementara tangannya diborgol.
“Bapak ikut saya ke kantor. Kami akan periksa sebagai saksi,” kata petugas KPK itu.
Aku tak mampu berkata banyak. Aisyah menggenggam tanganku erat. “Aku akan menemanimu, Mas.”

Malam itu, kuhabiskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari petugas KPK. Menjelang pukul tiga mereka mempersilahkan aku istirahat untuk makan sahur. Namun perutku tak mampu lagi menikmati makan sahur untuk mempersiapkan puasa. Kupilih untuk berdiam dalam musholla.

Dalam musholla aku bersujud untuk sholat tahajud. Kukumpulkan segenap resahku dan mengadu pada Allah. Kumohon perlindunganNya dari kekhilafanku yang hampir saja menjeratku pada kekufuran. Dalam hatiku berjanji untuk menguatkan ketaqwaan hingga tak mudah tergoda pada bujukan duniawi yang melenakan. Semoga dalam ramadhan ini masih ada pintu maaf untukku.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 5 September 2008

Mencintai Cinta

Oleh Tri Martha Herawati


Sejak kemarin aku tak bisa tidur nyenyak. Pikiranku penat dipadati kata-kata putriku, Icha. ”Kenapa sih, kalau untuk kerjaan Mama selalu ada waktu. Tapi untuk Icha Mama selalu nggak punya waktu. Icha nggak penting ya buat Mama?!”

Kami bertengkar hebat kemarin. Tak pernah kulihat Icha, buah hatiku yang duduk di bangku SMP kelas 2 itu, sangat berani padaku. Selama ini Icha adalah gadis manis yang polos, kadang manja. Tapi kemarin ia berubah jadi pemberontak yang sangat berani. Bahkan tanganku hampir menamparnya kemarin, jika tidak ditahan Mas Aryo suamiku.

Masalahnya sebenarnya sepele. Aku lupa dengan janjiku pada Icha untuk menemaninya ikut kegiatan amal sekolahnya ke panti asuhan. Tentu saja aku tidak sengaja melupakan jadwal itu. Tapi meeting yang berturut-turut dan beberapa pekerjaan yang tertunda, membuatku sangat sibuk hingga melupakan janjiku dengan Icha.

Icha tak dapat memaafkanku. Menurutnya, ini sudah kesekian kali aku mengabaikan janji yang kubuat sendiri. Dan puncaknya kemarin, ia mengungkit-ungkit pekerjaanku. Pekerjaan yang telah kutekuni sejak sepuluh tahun lalu. Bahkan sebelum Icha lahir. Pekerjaan yang mengangkat posisiku hingga menjadi direktur keuangan di sebuah perusahaan tekstil.

Mas Aryo, suamiku keluar kamar, rapi dengan pakaian kerja lengkap dengan tas kulit hitamnya. ”Ma, masih marah sama Icha?” sapa Mas Aryo sambil duduk di sebelahku.
Aku menggeleng lemah.
”Menurutku, Icha benar.”
”Maksudnya?” nada suaraku mulai naik. Entah kenapa Mas Aryo membenarkan tindakan Icha yang sangat berani bicara keras kepadaku kemarin.

”Mama harus belajar menghargai Icha. Dia cuma minta perhatian Mama.”
”Selama ini aku memperhatikan Icha.”
”Memperhatikan? Lupa janji karena sibuk di kantor sampai malam, itu yang Mama bilang memperhatikan Icha?”
”Pa!” nadaku cukup tinggi menentang ucapan suamiku.
”Mama tolong... kurangi kesibukan. Perhatian Mama yang lebih dibutuhkan Icha daripada uang jutaan rupiah tiap bulan yang Mama kasih ke Icha.”

Kuhela napas dalam-dalam. Hati kecilku membenarkan ucapan mas Aryo. Tapi egoku berkata sebaliknya.
”Istirahatlah...” Mas Aryo mencium keningku sebelum berangkat ke kantor. Kulepas suamiku dengan senyum yang berat.

Istirahatku di rumah benar-benar kumanfaatkan untuk melepas penat. Kumasuki kamar Icha yang tidak terkunci. Dulu aku sering menemani Icha tidur di kamar ini. Sebelum Icha tidur, kusempatkan membacakan cerita untuknya. Ketika itu, aku belum sesibuk sekarang dengan setumpuk pekerjaan yang menguras seluruh waktuku.

Pandanganku beralih pada meja belajar Icha yang tertata rapi. Mataku terfokus pada foto dalam pigura kecil di atas meja belajar Icha. Dalam foto itu, Icha memelukku dari belakang sambil tertawa lepas. Di bawah foto itu ada tulisan kecil, ”Mom, I miss you…”
Bulir air mataku menetes. Aku ada, tapi tak pernah bersama Icha. Aku ada, tapi tiada saat ia membutuhkanku. Aku ada, tapi tak pernah mendengar curhatnya. Aku ada, tapi tidak memberi banyak waktu untuk Icha. Tiba-tiba rasa rindu itu menyeruak dalam batinku. Kakiku bergerak meninggalkan kamar Icha. Aku harus bertemu Icha. Sekarang.
***

Aku datang tepat waktu ke sekolah Icha. Sebagian siswa sudah berhampur keluar kelas. Bel pulang berbunyi dua menit lalu.
”Icha!” reflek kupanggil putriku ketika melihatnya keluar dari pintu gerbang sekolah.

Icha menoleh ke arahku. Kulihat pandangan heran dari mata Icha. ”Mama?” gumamnya lirih.
Kuhampiri Icha dan merangkulnya. ”Kita pulang bareng?”
”Mama jemput Icha?”
Aku mengangguk dan tersenyum.
”Mama nggak kerja?”
”Hari ini, Mama pengin sama Icha.”

Kugandeng tangan Icha menuju mobil. Icha masih keheranan dengan kemunculanku di sekolahnya.
”Sudah lama banget Mama nggak jemput Icha. Sejak lima tahun lalu. Tumben, Ma,” kalimat Icha masih terdengar sinis bagiku.

”Kamu nggak suka Mama jemput?” balasku tak kalah sinis.
”Kalau Mama nggak ikhlas, mending enggak deh.”
”Icha! Bisa jaga kata-kata kamu nggak sih?”
”Mama yang mulai duluan.”
”Mulai duluan apanya?”
”Mama kan yang sok sibuk dengan pekerjaan. Semua waktu Mama habis untuk kerja, kerja dan kerja. Papa aja yang kepala keluarga, masih sempat nemenin Icha beli buku tiap minggu. Papa juga masih ada waktu dengerin curhatan Icha waktu gagal masuk tim karya ilmiah sekolah. Tapi Mama?”

”Dengar Icha, Mama ini direktur keuangan.”
”So what? Icha lebih suka punya Mama yang ibu rumah tangga dari pada Mama yang direktur keuangan tapi nggak pernah punya waktu untuk anaknya.”
Mobil kuhentikan seketika di pinggir jalan.
”Apa sih mau kamu?”
”Icha cuma mau Mama yang dulu. Mama yang selalu ada untuk Icha.”
”Oke. Tapi Icha juga harus bisa mengerti Mama dong!”
”Selama ini selalu Icha yang harus mengerti. Kapan Mama bisa mengerti Icha?!”
”Icha, kamu…”
Allahu akbar… Allahu akbar….

Suara adzan menggema keras dari masjid pinggir jalan di samping mobilku berhenti. Adzan itu sekaligus mengakhiri puasa hari ini.

Ketika kalimat tauhid itu diserukan, luruh semua egoku. Allah Yang Maha Besar telah mengingatkanku tentang kewajiban utama seorang ibu sebagai pengurus rumah tangga. Kewajiban membimbing Icha yang selama ini telah diamanahkan Allah padaku. Kewajiban untuk memberinya cinta sepenuh hati dengan perhatian dan kasih sayang yang utuh. Aku telah abai dengan kewajibanku. Ya Allah… ampuni aku.

Air mataku membasah di pipi. Bibirku kelu tak mampu mengucap satu kata pun. Inikah yang kuinginkan? Sukses berkarir namun harus menebus dengan kehilangan cinta putriku satu-satunya.

”Ma… maafkan Icha…” Icha memelukku, menciumi pipiku.
”Enggak sayang, Mama yang harus minta maaf sama Icha,” kupeluk Icha. Sejenak kami larut dalam pelukan yang sudah lama hilang. Subahanallah… ramadhan dengan rahmatNya yang agung telah mengembalikan cinta kami yang selama ini kering tanpa perhatian dan waktu yang cukup untuk memupuknya.

Terima kasih Allah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk mencintai kembali cintaku pada Icha dengan cara yang lebih baik.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 9 September 2008

Berharap Ampunan

Oleh Tri Martha Herawati


“Aku mau cerai!”
“Ma, ingat anak-anak!”
“Aku bisa menghidupi anak-anak tanpa Papa!”
“Masya Allah, Ma. Istighfar…”
“Kalau Papa minta aku berhenti kerja, lebih baik kita berpisah!”
“Aku cuma ingin Mama menjadi istri yang baik, ibu yang baik!”
“Sudahlah, Pa! Papa ngomong aja sama Bu Mike. Dia pengacara Mama yang akan mengurus perceraian kita.”
“Tapi, Ma…”
***

“Aku ketemu Mama di mall. Mama pergi sama Om Hendi.”
“Kamu pasti salah lihat.”
“Papa masih nggak percaya? Ini yang kesekian kali, Mitha lihat Mama jalan sama Om Hendi.”
“Nggak mungkin.”
“Kenapa Papa nggak ambil tindakan? Papa sengaja membiarkan Mama begitu?”
“Sudahlah!”
“Papa takut kehilangan Mama? Mama yang nggak pantas lagi jadi istri yang setia untuk papa? Mama yang nggak lagi jadi ibu yang baik buat Mitha?”
“Hentikan, Mitha!”
“Mitha sayang sama Papa. Mitha nggak mau Papa tersakiti terus.”
“Papa tahu.”
Kupeluk putriku. Kini, hanya ia yang kumiliki.
***
Semula pernikahanku dengan Renita berjalan manis. Kami dikaruniai dua putri yang cantik, Mitha dan Amira. Keduanya telah menginjak remaja dan mulai merasakan kejanggalan dalam menikmati kasih sayang ibunya.

Sejak pindah kerja dan menududuki posisi penting di kantornya, istriku semakin sibuk. Kesibukannya bahkan melebihi aku yang sehari-hari mengelola sebuah toko sepatu. Pendapatannya pun jauh melebihi jumlah belanja bulanan yang kuberi. Sebagai kepala rumah tangga, rasa minder itu telah berlebihan muncul dalam hatiku sejak lama. Tapi aku mencoba terus bertahan. Demi anak-anak. Demi keutuhan keluarga.
Akhirnya aku memilih diam. Termasuk ketika mendengar banyak orang bicara tentang kelakuan istriku dengan lelaki lain. Kututup mata dan telinga untuk itu semua.
***

Bip... bip…
Telepon genggam di saku celanaku bergetar. Kulihat nama Mitha muncul di layar.
“Ya, Mitha.”
“Pa, Mama kecelakaan!”
“Apa?!”
“Papa cepat ke rumah sakit! Mama harus segera dioperasi. Kata dokter Mama bisa lumpuh permanen!”
“Ya Allah…”
“Sekarang ya, Pa. Di ruang UGD!”
Kututup telepon dengan kecemasan memuncak. “Ya Allah, aku pasrah padaMu.”
***

Perempuan itu terbaring lemah dengan wajah pucat. Gurat kecantikannya masih sangat kentara menyelimuti wajahnya. Tangannya yang dingin kugenggam erat seakan ingin kualirkan sejuta cinta untuk menyembuhkannya.
Perlahan Renita membuka matanya.
“Ma,” sapaku lembut.
Renita tak mampu berkata-kata. Namun air matanya telah banyak bercerita.
***

Kursi roda itu telah menemaninya sepanjang waktu. Mengantarnya kemanapun ia ingin pergi. Dua kaki istriku tak mampu lagi digerakkan akibat kecelakaan mobil yang ditumpanginya saat pulang dari kantor di tengah malam buta. Hendi yang menyetir mobil itu, meninggal seketika dalam kecelakaan.
“Mama mau lihat mawar merah di taman?”
Renita mengangguk. Tanganku bergerak memutar roda kursi ke arah belakang rumah. Kebun itu ditumbuhi banyak bunga mawar kesukaan istriku.
“Kenapa, Pa?”
“Hm…?” aku duduk berjongkok menghadap istriku. Kugenggam tangannya sambil menatap wajahnya yang selalu cantik bagiku.
“Kenapa Papa mau memaafkan aku, setelah samuanya yang kulakukan menyakiti Papa.”
“Karena aku mencintai Mama.”
“Aku salah. Aku berdosa. Aku tak berguna…”
“Ssssttt…,” kuhentikan kalimat putus asa Renita. “Dalam setiap peristiwa, selalu ada hikmah. Allah sedang menguji cinta kita. Jika kita mampu melalui ini dengan baik dan penuh ketaqwaan padaNya, tidak sulit kita melaluinya.”

“Apa Allah akan memaafkan aku?”
“Ini bulan ramadhan. Pintu maafNya terbuka lebar untuk hamba yang bertaubat. Allah Maha Pengampun.”
“Tunjukkan padaku, bagaimana menjadi istri sholihah. Aku ingin menjadi ibu yang baik. Maafkan aku, Mas…” Renita mencium tanganku.
“Maafkan juga aku, Ma. Kita jadikan ramadhan ini bulan yang terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah. Semoga Allah selalu menguatkan keimanan kita, supaya kita jadi hambaNya yang taat dengan ujian apapun.”

Renita, istriku mengamini ucapanku. Dengan kasih sayangNya, Allah telah mengembalikan Renita pada keluarga. Terima kasih ya Rabb…

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 10 September 2008