Rabu, 15 Oktober 2008

Kang Marjoni Pulang Kampung

Oleh Tri Martha Herawati

Kang Marjoni pulang kampung. Kabar itu terdengar ke semua rumah di desaku. Kang Marjoni mudik lebaran setelah setahun lebih merantau di kota. Banyak diantara penduduk desa yang terkagum-kagum dengan penampilan baru Kang Marjoni. Penampilan Kang Marjoni memang berbeda dengan setahun lalu ketika ia pamit pergi ke kota untuk merantau. Bajunya lusuh dengan sepatu butut. Ia hanya membawa satu tas dan uang pas-pasan untuk naik bis. Tapi sekarang, penampilannya cukup mentereng. Rambut disisir licin, kacamata hitam, kalung emas melingkar di leher, sepatu hitam mengkilap ditambah mobil mewah. Karena itu penduduk desa menyambut kedatangan Kang Marjoni bak artis ibukota.
”Kamu nggak ke rumah Pak Marjono, Nis,” Mbak Siti tetanggaku menyapaku. Di tangannya ada amplop putih yang sengaja ditunjukkan padaku. ”Tiap orang dapat amplop lho. Nih, dua puluh ribu!”
”Kang Marjoni banyak duit ya Mbak?”
”Dia sudah jadi orang kaya sekarang,” Mbak Siti cerita tentang Kang Marjoni dengan antusias.
”Kerjaannya apa Mbak? Kok cepet banget jadi orang kaya?”
”Waduh, aku tadi nggak tanya. Ah nggak penting itu. Yang penting duitnya!” Mbak Siti berlalu dari hadapanku. Beberapa kali amplop putih diciuminya.
***

Baru tiga hari Kang Marjoni pulang kampung, rumahnya mirip pasar malam. Hampir tak pernah sepi, setiap saat ada saja yang datang berkunjung. Hanya sekedar tanya kabar, sampai pinjam uang untuk bayar hutang.
Tak terkecuali Pakde Saeran. Lelaki tua separuh baya itu sejak sore sudah nongkrong di teras rumah Kang Marjoni. Begitu si pemilik rumah muncul, Pakde saeran langsung menyambut dengan senyum yang dibuat seramah mungkin. Bahkan tak segan Pakde Saeran cium tangan Kang Marjoni.
”Ada apa, Pakde?”
”Anu, Mar...”
”Eh, Pakde! Jangan panggil Mar dong. Panggil Joni gitu!” Kang Marjoni tersinggung dipanggil Mar, meski dulu ia tak keberatan semua orang di desa kami memanggilnya Kang Mar.
”Eh, iya Nak Joni yang baik hati...” Pakde Saeran mencoba merayu. ”Gini, Nak Joni, Pakde mau pinjam uang. Nak Joni kan sudah sukses. Mbok ya Pakde ini dibantu untuk bayar hutang,” Pakde Saeran bicara dengan hati-hati.
”Mau pinjam berapa?”
Mata Pakde Saeran berbinar-binar. ”Nggak banyak, kok Nak Joni, hanya lima ratus ribu saja.”
”Lima ratus ribu itu banyak Pakde! Memangnya duit tinggal panen di kebon apa?!”
“Eh, iya ya… banyak juga Nak Joni.”
”Boleh lah, lima ratus ribu. Tapi kembali tiga bulan ya?”
”Kok cepat sekali. Kalau lima bulan gimana?”
”Boleh. Tapi kembali ke saya jadi satu juta. Gimana?”
”Walah Nak! Itu duit semua?”
”Kalau nggak mau ya sudah,” Kang Marjoni berdiri siap beranjak dari kursi.
”Eh, iya nak. Satu juta, lima bulan kan?”
Kang Marjoni mengangguk. Uang lima ratus ribu dikeluarkannya dari dalam dompet. Kang Marjoni minta Pakde Saeran menandatangani surat perjanjian hutang. Satu diantara pasalnya menyatakan, jika Pakde Saeran tidak mampu membayar hutang dalam waktu satu tahun, rumah miliknya akan disita.
”Gimana Pakde, setuju kan?”
Pakde Saeran mengangguk terpaksa. Dan transaksi riba itu pun terjadilah.
***

Dini hari, ketenangan di desaku diusik oleh puluhan mobil polisi. Suasana desa yang masih khusyuk merayakan Idul Fitri berubah tegang di depan rumah Kang Marjoni.
”Joni keluar! Menyerahlah! Kamu sudah dikepung!”
Aku mengintip dari jendela nako di ruang tamu. Beberapa meter dari rumahku, puluhan orang berseragam coklat dan bersenjata api menodongkan pistol ke arah rumah Kang Marjoni.
Dalam beberapa menit, tidak ada penghuni rumah yang keluar. Kang Marjoni yang dipanggil-panggil polisi juga tidak menampakkan batang hidungnya.
Setelah berunding beberapa saat, puluhan polisi menyerbu masuk ke dalam rumah. Sempat terdengar suara ribut dari dalam rumah.
Dor! Dor!
Suara tembakan beruntun mengakhiri kegaduhan di rumah Kang Marjoni. Sesaat sunyi.
Bapak yang sejak sore tidur di kamar terbangun. ”Ada apa, Nis?”
”Polisi menyerbu rumah Kang Marjoni,” kataku tanpa melepas pandangan mata ke arah rumah Kang Marjoni.
”Kok ada suara dar dor?”
”Ada yang ditembak, Pak!”
”Hah!” Bapak mengikutiku mengintip dari jendela.
Kami melihat puluhan polisi keluar masuk rumah Kang Marjoni. Setengah jam kemudian beberapa polisi menggotong tubuh yang bersimbah darah.
”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...”
”Itu Marjoni!”
***

Pagi harinya seluruh warga desa ribut. Ratusan orang mendatangi rumah Kang Marjoni untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Pakde Marjono ayah Kang Marjoni beberapa kali pingsan mendapati jenazah anaknya yang bersimbah darah diterjang peluru polisi. Beberapa warga saling berbisik tentang kesalahan Kang marjoni hingga berakhir ajalnya dengan timah panas polisi.
”Dia perampok!”
”Korbannya sudah banyak, kadang juga dibunuh!”
”Raja tega!”
”Marjoni itu buronan polisi!”
”Jadi duitnya banyak itu dari hasil merampok?!”
”Dia juga rentenir! Masa saya hutang lima ratus ribu, harus mengembalikan satu juta!” kali ini Pakde Saeran yang bersungut-sungut.
***

Kadang, orang tak segan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi. Bahkan puasa pun tak mampu menghentikan hasrat orang melakukan apapun untuk mendapatkan materi. Cara halal dan haram seakan tidak punya batasan jelas. Karena mata hati telah dibutakan oleh keinginan-keinginan sesaat.
Sebenarnya, selama bulan puasa Allah telah membelenggu setan-setan. Tapi ternyata masih banyak orang melakukan kemaksiatan. Bukan karena bujuk rayu setan, tapi karena manusia telah mewarisi perilaku setan.
Aku teringat ceramah Ustad Hasan ketika menyitir surat Ali Imran ayat 33, ”Dan bersegeralah kamu pada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Tidak ada komentar: