Rabu, 15 Oktober 2008

Ifthar Di ELM

Oleh Tri Martha Herawati

Jam di pergelangan tanganku menunjuk pukul 6 malam. Satu jam lagi buka puasa. Segera kubereskan buku-buku dari meja perpusatakaan menuju East London Mosque, aku biasa menyingkatnya dengan ELM. Untuk menuju masjid terbesar di London Timur itu harus kutempuh perjalanan sekitar 25 menit naik bus.

Hampir setiap hari aku berbuka puasa di ELM. Masjid ini memang sangat istimewa untukku. Selain karena jamaah yang sholat tarawih sangat banyak, imam sholatnya mirip sekali dengan bacaan imam sholat di masjidil haram. Doa saat sholat witirnya pun sangat menakjubkan. Hampir setiap doa itu dilantunkan, banyak jamaah yang menangis haru, termasuk aku.

Menempuh puasa sebulan penuh di London harus kulalui karena kepentingan studi doktoral bidang fisika. Hampir setiap hari Mama menelepon dari Surabaya menanyakan sahurku, maupun menu ifthar (buka puasa).

”Ichal jangan lupa minum vitamin, supaya nggak sakit,” pesan Mama sebelum ketika meneleponku siang tadi.
I’ll be fine, Mom. Don’t worry,” jawabku menenangkan Mama yang selalu khawatir.
”Apa menu buka puasa hari ini?”
”Yang pasti, kurma dan teh spicy. Itu disediakan di masjid. Gratis, kan biar irit Ma,” kataku sambil tersenyum.
”Andai saja kamu sudah punya istri, kamu tidak akan repot mencari menu buka puasa. Istrimu pasti akan menyediakan makanan yang kamu sukai.”

Aku terdiam. Untuk urusan yang satu ini, aku tak bisa mengelak. Dalam karier dan studi, aku bisa menikmati kesuksesan. Tapi untuk urusan berkeluarga, sampai sekarang aku belum menemukan orang yang tepat untuk kunikahi.
”Saatnya akan datang, Ma. Pray for me, okay?” pintaku sebelum mengakhiri telepon dari Mama.
Sure. I love you, Son,” Mama mengakhiri pembicaraan.

Dalam bis menuju East London Mosque, kuhabiskan waktu dengan membaca Al Qur’an. Sudah menjadi ritual setiap ramadhan, aku harus mengkhatamkan Al Qur’an. Sampai di surat Ar Rum ayat 21 kurenungi firman Allah ini. ”Dan diantara tanda-tanda kebesaranNya adalah Ia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan Dia menjadikan diantara kamu rasa kasih sayang...”
”Saatnya akan tiba,” batinku yakin.

I have to go to East London Mosque, but I don’t know where,” suara seorang perempuan dari kursi belakang memecah konsentrasiku menuntaskan surat Ar Rum. Logatnya sangat kental, Indonesia banget.

Reflek kepalaku menoleh ke kursi tepat di belakangku. Seorang perempuan dengan kerudung putih dan baju gamis warna gelap kelihatan bingung. Di sampingnya perempuan bule menggeleng tak tahu masjid yang dimaksud.
I will go there, you can follow me,” tawarku padanya.
“East London Mosque?”
Aku mengangguk.
“Thanks Allah!” perempuan muda itu mengepalkan kedua tangannya di bawah dagu tanda syukur.
”Indonesia?”
”Yes. You?”
”Surabaya, Jawa Timur. Tahu kan?”
”Subhanallah! Saya dari Malang, akhi,” katanya tersenyum.
”Allahu Akbar!” gumamku memuja kebesaran Allah. Di London, tak banyak kutemukan orang Indonesia apalagi Jawa Timur. Di komunitas muslim di London ini kebanyakan dari keturunan arab atau India.

”Sendiri?”
”Tadi seharusnya dengan teman. Tapi saya ketinggalan. Hanya diberi arahan naik bus ini, tapi kurang paham berhentinya dimana.”
”Sebentar lagi sampai ELM. Saya Faisal,” kataku memperkenalkan diri.
”Alhamdulillah. Saya Izzah.”
Kami tak berjabat tangan. Hanya saling pandang sekilas.
”Itu ELM, kita turun,” aku beranjak dari tempat duduk. Izzah mengikutiku dari belakang menuruni bis.
”Subhanallah,” gumam Izzah begitu menginjakkan kakinya turun dari bis. East London Mosque ada di hadapan kami.
”Pertama ke ELM?” tanyaku.
Izzah mengangguk.
”Izzah!” seorang perempuan memanggilnya dari halaman masjid.
”Dek Lia?!” aku hampir tak percaya melihat sepupuku yang memanggil Izzah. Mama pernah memberi tahu kalau Lia, putri bungsu Tante Hana, mengambil studi pasca sarjana di London. Tapi karena kesibukan, aku hanya beberapa kali menghubunginya melalui telepon tanpa sempat bertemu.
”Kak Faisal! Oh My God!” Lia mendekatiku dan Izzah. ”Kok bisa bareng Izzah?”
”Ketemu di bis,” jawabku.
”Izzah temanku satu kampus. Terima kasih ya, Kakak sudah mengantarnya.”
”Terima kasih, akhi. Jazakumullah khairan katsir. Semoga Allah memberi balasan yang terbaik.”

Begitu selesai kalimatnya, Izzah dan Lia beranjak menuju masjid di bagian jamaah wanita. Aku pun bergegas menuju masjid, karena adzan segera berkumandang.
***

Hari ini mengawali sepuluh hari kedua ramadhan. Dalam bis kubaca bagian akhir juz kedua belas dari Al Qur’an mini di tanganku. Seperti biasa, aku akan berbuka puasa dan sholat tarawih di ELM. Di sepuluh hari terakhir ramadhan nanti bahkan aku berniat i’tikaf di masjid besar ini.
”Assalamu’alaikum,” suara perempuan dengan logat Indonesia menyapaku.
“Wa’alaikum salam,” kucari sumber suara itu. Ternyata seorang perempuan berkerudung cokelat muda bergamis warna senada tersenyum dari depan kursiku. ”Ukhti Izzah?”
Ia mengangguk. ”Ke ELM kan?”
”Ya. Ukhti?”
”Masjid itu membuat saya rindu untuk datang kembali,” katanya sambil tersenyum.

Deg! Jantungku berdesir melihat senyumnya. Buru-buru kualihkan pandanganku dari wajahnya. Bagaimana pun aku harus tetap menjaga pergaulan. Di London meski gaya hidupnya serba bebas, aku harus mempertahankan aturan Allah dalam pergaulan. Menundukkan pandangan adalah perintahNya. Tapi kenapa semakin aku menunduk, degup jantung di dada ini semakin keras detaknya? Inikah namanya ’kecenderungan’ itu? Seperti yang Allah firmankan dalam Ar Rum ayat 21?

Sampai di ELM, adzan maghrib sudah berkumandang.
”Akhi, ini kurma untuk ifthar. Selamat berbuka,” Izzah memberiku sekotak kurma. Tanpa menunggu ucapan terima kasihku, Izzah sudah berlalu dari hadapanku.

Tiba-tiba setumpuk rencana memenuhi otakku. Setelah sholat tarawih, aku akan menghubungi Lia. Akan kusampaikan niatku untuk berta’aruf dengan Izzah. Bahkan aku berniat mengkhitbahnya.
East London Mosque, mungkin dari sinilah niatku membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah akan berawal.

Cerpen dimuat di www.suarasurabaya.net 20 September 2008

Tidak ada komentar: