Rabu, 15 Oktober 2008

Berharap Ampunan

Oleh Tri Martha Herawati


“Aku mau cerai!”
“Ma, ingat anak-anak!”
“Aku bisa menghidupi anak-anak tanpa Papa!”
“Masya Allah, Ma. Istighfar…”
“Kalau Papa minta aku berhenti kerja, lebih baik kita berpisah!”
“Aku cuma ingin Mama menjadi istri yang baik, ibu yang baik!”
“Sudahlah, Pa! Papa ngomong aja sama Bu Mike. Dia pengacara Mama yang akan mengurus perceraian kita.”
“Tapi, Ma…”
***

“Aku ketemu Mama di mall. Mama pergi sama Om Hendi.”
“Kamu pasti salah lihat.”
“Papa masih nggak percaya? Ini yang kesekian kali, Mitha lihat Mama jalan sama Om Hendi.”
“Nggak mungkin.”
“Kenapa Papa nggak ambil tindakan? Papa sengaja membiarkan Mama begitu?”
“Sudahlah!”
“Papa takut kehilangan Mama? Mama yang nggak pantas lagi jadi istri yang setia untuk papa? Mama yang nggak lagi jadi ibu yang baik buat Mitha?”
“Hentikan, Mitha!”
“Mitha sayang sama Papa. Mitha nggak mau Papa tersakiti terus.”
“Papa tahu.”
Kupeluk putriku. Kini, hanya ia yang kumiliki.
***
Semula pernikahanku dengan Renita berjalan manis. Kami dikaruniai dua putri yang cantik, Mitha dan Amira. Keduanya telah menginjak remaja dan mulai merasakan kejanggalan dalam menikmati kasih sayang ibunya.

Sejak pindah kerja dan menududuki posisi penting di kantornya, istriku semakin sibuk. Kesibukannya bahkan melebihi aku yang sehari-hari mengelola sebuah toko sepatu. Pendapatannya pun jauh melebihi jumlah belanja bulanan yang kuberi. Sebagai kepala rumah tangga, rasa minder itu telah berlebihan muncul dalam hatiku sejak lama. Tapi aku mencoba terus bertahan. Demi anak-anak. Demi keutuhan keluarga.
Akhirnya aku memilih diam. Termasuk ketika mendengar banyak orang bicara tentang kelakuan istriku dengan lelaki lain. Kututup mata dan telinga untuk itu semua.
***

Bip... bip…
Telepon genggam di saku celanaku bergetar. Kulihat nama Mitha muncul di layar.
“Ya, Mitha.”
“Pa, Mama kecelakaan!”
“Apa?!”
“Papa cepat ke rumah sakit! Mama harus segera dioperasi. Kata dokter Mama bisa lumpuh permanen!”
“Ya Allah…”
“Sekarang ya, Pa. Di ruang UGD!”
Kututup telepon dengan kecemasan memuncak. “Ya Allah, aku pasrah padaMu.”
***

Perempuan itu terbaring lemah dengan wajah pucat. Gurat kecantikannya masih sangat kentara menyelimuti wajahnya. Tangannya yang dingin kugenggam erat seakan ingin kualirkan sejuta cinta untuk menyembuhkannya.
Perlahan Renita membuka matanya.
“Ma,” sapaku lembut.
Renita tak mampu berkata-kata. Namun air matanya telah banyak bercerita.
***

Kursi roda itu telah menemaninya sepanjang waktu. Mengantarnya kemanapun ia ingin pergi. Dua kaki istriku tak mampu lagi digerakkan akibat kecelakaan mobil yang ditumpanginya saat pulang dari kantor di tengah malam buta. Hendi yang menyetir mobil itu, meninggal seketika dalam kecelakaan.
“Mama mau lihat mawar merah di taman?”
Renita mengangguk. Tanganku bergerak memutar roda kursi ke arah belakang rumah. Kebun itu ditumbuhi banyak bunga mawar kesukaan istriku.
“Kenapa, Pa?”
“Hm…?” aku duduk berjongkok menghadap istriku. Kugenggam tangannya sambil menatap wajahnya yang selalu cantik bagiku.
“Kenapa Papa mau memaafkan aku, setelah samuanya yang kulakukan menyakiti Papa.”
“Karena aku mencintai Mama.”
“Aku salah. Aku berdosa. Aku tak berguna…”
“Ssssttt…,” kuhentikan kalimat putus asa Renita. “Dalam setiap peristiwa, selalu ada hikmah. Allah sedang menguji cinta kita. Jika kita mampu melalui ini dengan baik dan penuh ketaqwaan padaNya, tidak sulit kita melaluinya.”

“Apa Allah akan memaafkan aku?”
“Ini bulan ramadhan. Pintu maafNya terbuka lebar untuk hamba yang bertaubat. Allah Maha Pengampun.”
“Tunjukkan padaku, bagaimana menjadi istri sholihah. Aku ingin menjadi ibu yang baik. Maafkan aku, Mas…” Renita mencium tanganku.
“Maafkan juga aku, Ma. Kita jadikan ramadhan ini bulan yang terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah. Semoga Allah selalu menguatkan keimanan kita, supaya kita jadi hambaNya yang taat dengan ujian apapun.”

Renita, istriku mengamini ucapanku. Dengan kasih sayangNya, Allah telah mengembalikan Renita pada keluarga. Terima kasih ya Rabb…

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 10 September 2008

Tidak ada komentar: