Rabu, 15 Oktober 2008

Gaza Tanpa Air Mata

Kulihat Ali, adik bayiku terbujur kaku di atas ranjang. Tubuhnya yang kecil terlihat sangat kurus di akhir hayatnya. Ia kena diare sejak seminggu terakhir. Ajal menjemputnya tanpa sempat Ummi membawanya ke rumah sakit.

Tidak ada tangis berderai di wajah Ummi. Beliau sangat tabah. Hanya pelukan erat Ummi mengantar Ali sampai ke pemakaman yang sesak dengan jenazah para syuhada. Ummi melarangku menangis karena kepergian Ali ke ramhatullah.

”Ali sudah kembali kepada Allah. Tak perlu ditangisi. Ia bahagia di sisi Allah,” begitu kata Ummi tanpa sedikitpun memperlihatkan kesedihan.

Kulihat Ummi tersenyum padaku. Entah senyum apa namanya. Tapi itulah Ummi, wanita tegar yang tak pernah menyisakan sedih diantara kepiluan yang kami alami selama blokade jalur Gaza oleh Israel.
Ramadhan kali ini, kami melewatkannya dengan serba susah. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, sangat sulit mendapatkannya. Kalaupun ada harganya sangat mahal, hampir tak terjangkau dengan uang yang ada. Puasa ini, kami hanya makan di saat berbuka. Itupun hanya dengan kurma dan air.

Ali yang seharusnya menyusu pada Ummi, tak mendapat makanan sehat, karena Ummi makan tidak teratur. Diare akut menyerangnya sejak sepekan terakhir. Di usia dua bulan Ali harus pulang ke rahmatullah dengan kehidupan getir mengantarnya pergi.
***

”Kapan Abi pulang, Mi?” rengekku pada Ummi yang sedang menjahit pakaian.
”Abi sedang berjuang. Anak mujahid tak boleh cengeng,” Ummi membelai kepalaku.

Bagaimana aku tak merengek, rasa rindu pada Abi sudah membuncah. Hampir enam bulan Abi tidak pulang. Bahkan sekedar mengirim pesan pun tidak. Abi adalah anggota pergerakan Islam yang memperjuangkan penegakan syariah dan khilafah. Tidak biasa Abi pergi dalam waktu lama tanpa kabar.

”Apakah Abi akan pulang Idul Fitri nanti, Mi?” tanyaku lagi.
“Entahlah,” Ummi menjawab tanpa memberi harapan. “Berdoalah kepada Allah untuk keselamatan Abi,” pinta Ummi.

Aku berlari ke arah jendela. Kutengadahkan kepala menghadap langit. Kerudungku bergerak melambai diterpa angin. ”Ya Allah, aku tahu, di luar sana, Abi sedang berjuang untuk Islam, untuk kaum muslim yang sedang menderita. Ya Allah, Engkau pernah menjanjikan, suatu saat kaum muslim akan kembali dalam keadaan yang baik, di bawah sebuah aturan Islam yang menaungi kami, melindungi seluruh umat Islam. Segerakan kami pada janji itu ya, Allah. Karena Engkau, tak pernah ingkar janji,” kututup doa dengan mata berkaca-kaca.
***

Ummi menyuruhku berbelanja di pasar. Tak banyak yang bisa kubeli dengan uang yang sangat terbatas. Pedagangpun tidak banyak. Mereka kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok, karena blokade tentara Israel di jalur Gaza.

Sampai di rumah banyak orang di rumahku. Kulihat wajah mereka murung, bahkan sebagian wanita menangis. Sontak hatiku gelisah. Diantara debar jantung yang semakin menguat, kulangkahkan kaki perlahan mendekati pintu rumah.

”Aisyah,” suara yang sudah sangat kukenal memanggil. Umar, abangku menghampiri. Pundaku dirangkulnya menjauhi pintu rumah. Ia mengajakku duduk di bangku samping rumah.
”Ada apa?”
”Kau tahu, Abi pernah mengatakan, kehidupan di dunia hanyalah sementara. Kehidupan yang kekal adalah di akhirat. Karena itu, kehidupan di dunia harus digunakan untuk melakukan banyak amal sholeh. Melakukan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya,” panjang lebar Umar memberiku kuliah pendek tentang kehidupan, sama persis seperti yang pernah disampaikan Abi.

”Di dunia, tak apa kita hidup miskin. Asal di akhirat kita bahagia,” kataku menanggapi.
Umar menangguk. Ia tersenyum kepadaku.
”Kenapa banyak orang di rumah kita?”
”Mereka ingin mengantar Abi.”
”Kemana?”
”Ke tempat peristirahatan terakhir,” Umar mengatakannya tanpa ekspresi.
”Maksudnya?”
”Abi telah berpulang ke rahmatullah. Peluru tentara Israel menembus dadanya waktu Abi sedang berceramah tadi malam.”

Seluruh tubuhku lemas. Bibirku tak mampu berkata-kata. Aku berlari ke dalam rumah.
”Abi...” bisikku lirih pada tubuh Abi yang telah dikafani.
”Tak perlu sedih. Abi kembali kepada Allah sebagai pejuang,” Ummi memelukku dari belakang. Seperti biasa, tak ada tangis di mata Ummi. Sekuat tenaga kutahan tangis, karena seharusnya aku bahagia karena surga telah rindu menanti kedatangan pejuang-pejuang Allah.
***

Umar mengemasi pakaiannya dalam sebuah tas butut. Aku hanya melihat kesibukannya dari pintu kamar. Jauh dalam hati kecilku berharap, Umar tidak akan pergi. Tapi ini bukan waktunya untuk merengek dan cengeng menghadapi kenyataan hidup.

”Aku ingin kau mewarisi Al Qur’anku,” Umar memberikan Al Qur’an kecil kesayangannya ke tanganku. Aku menerimanya dengan bahagia. Kuciumi Al Qur’an itu, seketika wangi semerbak memenuhi hidungku.

”Jaga Ummi. Kau harus bersabar. Semoga Allah mempertemukan kita di surga,” Umar mencium keningku lalu buru-buru keluar kamar.

Di ruang tengah Ummi sudah berdiri menantinya.
”Aku pergi. Ikhlaskan aku Ummi,” Umar berpamitan pada Ummi.
”Pergilah mujahid. Allah melindungimu,” Ummi mencium kening Umar. Sekilas Umar melihatku lalu pergi.

Aku dan Ummi mengantar Umar sampai di pintu. Kami mengantar kepergian kaka sulungku seakan tak akan bertemu kembali. Ramadhan ini mungkin kali terakhir aku bertemu dengan Umar. Dunia memang bukan akhir dari tujuan hidup. Tak apalah dalam kehidupan dunia, keluarga kami tercerai-berai. Karena itu, kulepas kepergian Umar dengan lapang dada. Tak ada tangis sedikitpun dari mataku. Aku hanya berharap, Allah akan mempertemukan keluarga kami kelak di surgaNya.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 25 September 2008

Tidak ada komentar: