Rabu, 15 Oktober 2008

Jerat Duniawi

Oleh Tri Martha Herawati

Amplop coklat besar itu sejak sore tadi ada di atas meja. Di dalamnya ada setumpuk uang. Aku tak menghitung jumlahnya, tapi kata Pak Yamin isinya seratus juta.


“Terima saja, Bi. Jarang-jarang lho kita bisa punya uang sebanyak ini,” kata Pak Yamin sore tadi. “Kamu tidak perlu melakukan apapun, hanya diam saja. Ok?”
Aku tidak menolak tapi juga tidak mengiyakan.

Sebagai staf keuangan di instansi pemerintah posisiku memang sangat strategis. Strategis juga untuk dimanfaatkan. Termasuk untuk dibungkam dengan tumpukan uang seratus juta. Aku tahu, ada pos keuangan yang fiktif dalam perhitungan kas. Aku pun tahu pos keuangan fiktif itu digunakan untuk anggaran suap pihak-pihak terkait yang memberi persetujuan pada pengalihfungsian lahan terbuka hijau untuk pendirian mall di tengah kota.

Aku memang tidak terlibat langsung dalam proyek itu. Tapi menurut Pak Yamin, diamku telah banyak membantu. Ini yang namanya suap itu? Ribuan kali kalimat itu terngiang di telingaku.

Harus kuakui, kondisi keuanganku sedang sulit. Aku harus membayar biaya perawatan ibu yang harus cuci darah seminggu sekali. Sebagian harta berharga milik keluarga sudah habis terjual untuk biaya itu. Bahkan motor yang sehari-hari kupakai untuk pergi ke kantor harus tergadai untuk beberapa waktu.

Bila ingat kondisi ibu, aku tak mampu menahan diri untuk tidak mengambil amplop berisi uang seratus juta itu. Keberanianku muncul. Hanya dalam hitungan detik amplop yang semenjak sore hanya ada di atas meja, kini telah beralih dalam tas kerjaku. Aku pulang dengan berat hati, sambil berpikir alasan yang akan kukatakan pada istriku tentang asal usul uang ini.
***

“Seratus juta, Mas?!” Aisyah, istriku terperanjat melihat amplop coklat yang kuserahkan padanya.
“Itu cukup untuk biaya itu, nebus sepeda motor di pegadaian. Juga untuk biaya sekolah anak-anak,” kataku mencoba meyakinkannya.
“Tapi, uang ini dari mana, Mas?”
“Sudah. Nggak usah tanya!”
“Halal?” Aisyah mencari jawaban dari mataku. Aku tak berani menatapnya. Ia bisa marah besar kalau tahu dari mana uang sebanyak itu kudapatkan.
“Jawab dulu, Mas. Uang ini halal atau haram?”
Aku terdiam.
“Jujur, Mas!”

Aku tak menjawabnya.
“Kalau begitu, aku tidak mau menerimanya. Biarlah kita kesulitan membiayai ibu dan sekolah anak-anak, asalkan tidak makan uang haram!”
“Itu pemberian Pak Yamin.”
“Mas kerja apa sampai dapat uang sebanyak ini?”
“Aku tidak kerja apa-apa.”
“Bohong!”
“Beneran, Dek.”
“Kalau begitu, kembalikan uang ini pada Pak Yamin,” Aisyah memberikan amplop uang itu ke tanganku.
“Tapi aku nggak kuat lagi membiayai ibu. Apalagi yang bisa kita jual? Kita sudah habis-habisan. Mumpung ada kesempatan, uang ini bisa menolong kita.”

“Hanya Allah yang bisa menolong kita, Mas. Bukan uang haram ini!” nada bicara Aisyah meninggi.
Aku membisu di sudut kamar.
“Jangan pernah ragu pada kekuasaanNya. Saat ini Allah sedang menguji kita, Mas. Kesulitan kita tidak ada artinya, dengan kekuatan iman yang akan selalu ditambahkan Allah jika kita mampu melalui ujian ini dengan baik. Kesenangan kita hanya sesaat, namun penderitaan kita akan panjang di akhirat kalau kita ambil uang haram ini.”
“Terus gimana?”
“Mas Ridwan harus mengembalikan uang ini ke Pak Yamin.”
“Tapi…”
“Pergilah ke Pak Yamin sekarang. Jangan biarkan uang ini berlama-lama di rumah kita,” Aisyah menuntunku keluar kamar. Wajahnya meyakinkanku.
Malam itu, aku dan Aisyah ke rumah Pak Yamin di kawasan perumahan elit di wilayah selatan kota.
***

Lima mobil berjajar di depan rumah Pak Yamin yang besar. Ada belasan orang berpakaian preman hilir mudik di dalam rumah. Beberapa orang menelepon, lainnya berjaga di luar pagar.
“Anda siapa?” seseorang diantara mereka mendekatiku.
“Saya Ridwan, staf Pak Yamin.”
“Ada keperluan apa?” orang berkumis tebal itu menyorot amplop besar di tanganku.
“Mau mengembalikan…”
“Kami dari KPK,” laki-laki itu memotong kalimatku. “Pak Yamin harus ditahan atas kasus korupsi senilai dua miliar rupiah.”
Aku dan Aisyah saling berpandangan. Seluruh tubuhku gemetar mendengar kalimat petugas KPK itu.

“Anda mau mengembalikan apa?” tanya petugas KPK.
“Ini,” kuberikan amplop berisi uang.
“Anda ikut saya,” pertugas KPK itu mengajakku masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, kulihat Pak Yamin hanya berdiri mematung. Wajahnya pucat pasi. Sementara tangannya diborgol.
“Bapak ikut saya ke kantor. Kami akan periksa sebagai saksi,” kata petugas KPK itu.
Aku tak mampu berkata banyak. Aisyah menggenggam tanganku erat. “Aku akan menemanimu, Mas.”

Malam itu, kuhabiskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari petugas KPK. Menjelang pukul tiga mereka mempersilahkan aku istirahat untuk makan sahur. Namun perutku tak mampu lagi menikmati makan sahur untuk mempersiapkan puasa. Kupilih untuk berdiam dalam musholla.

Dalam musholla aku bersujud untuk sholat tahajud. Kukumpulkan segenap resahku dan mengadu pada Allah. Kumohon perlindunganNya dari kekhilafanku yang hampir saja menjeratku pada kekufuran. Dalam hatiku berjanji untuk menguatkan ketaqwaan hingga tak mudah tergoda pada bujukan duniawi yang melenakan. Semoga dalam ramadhan ini masih ada pintu maaf untukku.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 5 September 2008

Tidak ada komentar: