Rabu, 15 Oktober 2008

Mencintai Cinta

Oleh Tri Martha Herawati


Sejak kemarin aku tak bisa tidur nyenyak. Pikiranku penat dipadati kata-kata putriku, Icha. ”Kenapa sih, kalau untuk kerjaan Mama selalu ada waktu. Tapi untuk Icha Mama selalu nggak punya waktu. Icha nggak penting ya buat Mama?!”

Kami bertengkar hebat kemarin. Tak pernah kulihat Icha, buah hatiku yang duduk di bangku SMP kelas 2 itu, sangat berani padaku. Selama ini Icha adalah gadis manis yang polos, kadang manja. Tapi kemarin ia berubah jadi pemberontak yang sangat berani. Bahkan tanganku hampir menamparnya kemarin, jika tidak ditahan Mas Aryo suamiku.

Masalahnya sebenarnya sepele. Aku lupa dengan janjiku pada Icha untuk menemaninya ikut kegiatan amal sekolahnya ke panti asuhan. Tentu saja aku tidak sengaja melupakan jadwal itu. Tapi meeting yang berturut-turut dan beberapa pekerjaan yang tertunda, membuatku sangat sibuk hingga melupakan janjiku dengan Icha.

Icha tak dapat memaafkanku. Menurutnya, ini sudah kesekian kali aku mengabaikan janji yang kubuat sendiri. Dan puncaknya kemarin, ia mengungkit-ungkit pekerjaanku. Pekerjaan yang telah kutekuni sejak sepuluh tahun lalu. Bahkan sebelum Icha lahir. Pekerjaan yang mengangkat posisiku hingga menjadi direktur keuangan di sebuah perusahaan tekstil.

Mas Aryo, suamiku keluar kamar, rapi dengan pakaian kerja lengkap dengan tas kulit hitamnya. ”Ma, masih marah sama Icha?” sapa Mas Aryo sambil duduk di sebelahku.
Aku menggeleng lemah.
”Menurutku, Icha benar.”
”Maksudnya?” nada suaraku mulai naik. Entah kenapa Mas Aryo membenarkan tindakan Icha yang sangat berani bicara keras kepadaku kemarin.

”Mama harus belajar menghargai Icha. Dia cuma minta perhatian Mama.”
”Selama ini aku memperhatikan Icha.”
”Memperhatikan? Lupa janji karena sibuk di kantor sampai malam, itu yang Mama bilang memperhatikan Icha?”
”Pa!” nadaku cukup tinggi menentang ucapan suamiku.
”Mama tolong... kurangi kesibukan. Perhatian Mama yang lebih dibutuhkan Icha daripada uang jutaan rupiah tiap bulan yang Mama kasih ke Icha.”

Kuhela napas dalam-dalam. Hati kecilku membenarkan ucapan mas Aryo. Tapi egoku berkata sebaliknya.
”Istirahatlah...” Mas Aryo mencium keningku sebelum berangkat ke kantor. Kulepas suamiku dengan senyum yang berat.

Istirahatku di rumah benar-benar kumanfaatkan untuk melepas penat. Kumasuki kamar Icha yang tidak terkunci. Dulu aku sering menemani Icha tidur di kamar ini. Sebelum Icha tidur, kusempatkan membacakan cerita untuknya. Ketika itu, aku belum sesibuk sekarang dengan setumpuk pekerjaan yang menguras seluruh waktuku.

Pandanganku beralih pada meja belajar Icha yang tertata rapi. Mataku terfokus pada foto dalam pigura kecil di atas meja belajar Icha. Dalam foto itu, Icha memelukku dari belakang sambil tertawa lepas. Di bawah foto itu ada tulisan kecil, ”Mom, I miss you…”
Bulir air mataku menetes. Aku ada, tapi tak pernah bersama Icha. Aku ada, tapi tiada saat ia membutuhkanku. Aku ada, tapi tak pernah mendengar curhatnya. Aku ada, tapi tidak memberi banyak waktu untuk Icha. Tiba-tiba rasa rindu itu menyeruak dalam batinku. Kakiku bergerak meninggalkan kamar Icha. Aku harus bertemu Icha. Sekarang.
***

Aku datang tepat waktu ke sekolah Icha. Sebagian siswa sudah berhampur keluar kelas. Bel pulang berbunyi dua menit lalu.
”Icha!” reflek kupanggil putriku ketika melihatnya keluar dari pintu gerbang sekolah.

Icha menoleh ke arahku. Kulihat pandangan heran dari mata Icha. ”Mama?” gumamnya lirih.
Kuhampiri Icha dan merangkulnya. ”Kita pulang bareng?”
”Mama jemput Icha?”
Aku mengangguk dan tersenyum.
”Mama nggak kerja?”
”Hari ini, Mama pengin sama Icha.”

Kugandeng tangan Icha menuju mobil. Icha masih keheranan dengan kemunculanku di sekolahnya.
”Sudah lama banget Mama nggak jemput Icha. Sejak lima tahun lalu. Tumben, Ma,” kalimat Icha masih terdengar sinis bagiku.

”Kamu nggak suka Mama jemput?” balasku tak kalah sinis.
”Kalau Mama nggak ikhlas, mending enggak deh.”
”Icha! Bisa jaga kata-kata kamu nggak sih?”
”Mama yang mulai duluan.”
”Mulai duluan apanya?”
”Mama kan yang sok sibuk dengan pekerjaan. Semua waktu Mama habis untuk kerja, kerja dan kerja. Papa aja yang kepala keluarga, masih sempat nemenin Icha beli buku tiap minggu. Papa juga masih ada waktu dengerin curhatan Icha waktu gagal masuk tim karya ilmiah sekolah. Tapi Mama?”

”Dengar Icha, Mama ini direktur keuangan.”
”So what? Icha lebih suka punya Mama yang ibu rumah tangga dari pada Mama yang direktur keuangan tapi nggak pernah punya waktu untuk anaknya.”
Mobil kuhentikan seketika di pinggir jalan.
”Apa sih mau kamu?”
”Icha cuma mau Mama yang dulu. Mama yang selalu ada untuk Icha.”
”Oke. Tapi Icha juga harus bisa mengerti Mama dong!”
”Selama ini selalu Icha yang harus mengerti. Kapan Mama bisa mengerti Icha?!”
”Icha, kamu…”
Allahu akbar… Allahu akbar….

Suara adzan menggema keras dari masjid pinggir jalan di samping mobilku berhenti. Adzan itu sekaligus mengakhiri puasa hari ini.

Ketika kalimat tauhid itu diserukan, luruh semua egoku. Allah Yang Maha Besar telah mengingatkanku tentang kewajiban utama seorang ibu sebagai pengurus rumah tangga. Kewajiban membimbing Icha yang selama ini telah diamanahkan Allah padaku. Kewajiban untuk memberinya cinta sepenuh hati dengan perhatian dan kasih sayang yang utuh. Aku telah abai dengan kewajibanku. Ya Allah… ampuni aku.

Air mataku membasah di pipi. Bibirku kelu tak mampu mengucap satu kata pun. Inikah yang kuinginkan? Sukses berkarir namun harus menebus dengan kehilangan cinta putriku satu-satunya.

”Ma… maafkan Icha…” Icha memelukku, menciumi pipiku.
”Enggak sayang, Mama yang harus minta maaf sama Icha,” kupeluk Icha. Sejenak kami larut dalam pelukan yang sudah lama hilang. Subahanallah… ramadhan dengan rahmatNya yang agung telah mengembalikan cinta kami yang selama ini kering tanpa perhatian dan waktu yang cukup untuk memupuknya.

Terima kasih Allah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk mencintai kembali cintaku pada Icha dengan cara yang lebih baik.

Cerpen ini pernah dimuat di www.suarasurabaya.net 9 September 2008

Tidak ada komentar: