Rabu, 15 Oktober 2008

Pulang

Oleh Tri Martha Herawati

Ini tahun ketiga aku tidak pulang ke rumah saat lebaran. Ketika sebagain besar orang mudik lebaran ke kampung halaman bertemu keluarga dan sanak saudara, aku malah menghabiskan cuti lebaran untuk liburan ke Bali. Ketika sebagian orang mati-matian berkorban untuk bisa pulang kampung, aku malah menghindari pertemuan keluarga, terutama dengan ibu dan ayah.
Bukannya aku tidak rindu pada mereka. Kerinduan ini selalu datang menghampiriku setiap saat. Tapi pilihanku untuk tidak pulang ke rumah adalah bentuk protesku pada ayah dan ibu yang memutuskan bercerai tanpa meminta pertimbanganku.
Selama ini aku melihat, tidak ada yang salah dalam hubungan ayah dan ibuku. Dalam dua puluh lima tahun pernikahan mereka, aku tidak pernah melihat perang besar diantara mereka. Aku pun merasa nyaman dengan kondisi keluargaku, sampai suatu saat ayah dan ibu mendudukkanku dan menjelaskan kesepakatan mereka untuk mengakhiri pernikahan. Tidak ada alasan yang cukup rasional untuk kumengerti tentang perpisahan mereka. Ayah dan ibu bilang, sudah tidak ada kecocokan. Aku tak habis mengerti, kecocokan seperti apa yang diharapkan sampai-sampai jalan cerai dianggap yang terbaik.
”Nes, kamu bener-bener nggak pengin mudik?” Astri melihatku aneh. Sementara ia sibuk mengemasi barang-barang bersiap pulang kampung, aku malah tenang-tenang saja dalam kamar.
”Nggak,” jawabku pendek.
”Emang kamu nggak punya orang tua, saudara, atau keluarga yang bisa dikunjungi?” tanya Astri menyelidik. Aku memang tak banyak cerita tentang keluargaku. Aku tak ingin orang lain tahu tentang kondisi keluargaku yang broken home.
“Ada. Tapi nggak pengin ketemu.”
”Lho?”
Astri mendekatiku dan duduk di sampingku.
”Kamu harus minta maaf pada mereka, karena kamu selama ini tidak menganggap keberadaan mereka.”
”Bukan aku yang harus minta maaf, tapi mereka yang harus minta maaf sama aku!”
”Masya Allah, Nes. Jangan egois gitu dong. Allah saja Maha Memaafkan, masa kita yang cuma seorang hamba tidak mau memaafkan? Apalagi itu keluarga kita sendiri,” Astri mencoba menasihatiku.
”Ya, itu urusan mereka sama Allah. Urusan mereka sama aku lain ceritanya.”
”Ines, istighfar...” Astri mengelus pundakku.
Aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Cukup lama aku tak membuka pintu maaf. Bahkan lebaran kali ini pun tidak.
***

Takbir jelang idul fitri berkumandang bersahut-sahutan dari beberapa masjid dekat tempat kosku. Hanya tinggal aku sendiri dan ibu kos di rumah ini. Semua teman-temanku sudah mudik pulang ke kampung masing-masing.
”Nak Ines, nggak mudik?” Bu Rahma, ibu kos yang ramah membawakan pisang goreng sisa buka puasa ke dalam kamarku.
”Nggak, Bu. Ibu sendiri, nggak mudik?”
”Ibu sudah nggak punya saudara lagi. Kalau pun ada, jauh di luar pulau. Berat di ongkos kalau harus mengunjungi mereka. Silaturahmi hanya melalui telepon.”
”Anak ibu?”
”Anak ibu merantau jadi TKI di Malaysia. Sudah lima tahun dia disana, nggak ada kabar. Ibu kangen sekali,” mata Bu Rahma berkaca-kaca.
Aku jadi teringat ibu. Terakhir aku pergi dari rumah dengan ribut besar tiga tahun lalu, kutinggalkan ibu yang berurai air mata. Kadang aku kangen sekali pada ibu, tapi selama ini ego dalam diriku yang lebih menguasai. Aku pun harus menahan diri untuk tidak pulang meski harus kuakui aku rindu pada ayah dan ibu.
”Beginilah hati seorang ibu. Dimanapun anaknya berada, hatinya tak pernah lelah merindu. Setiap mengingatnya, semakin besar rasa rindu itu,” Bu Rahma sesenggukan sambil sesekali mengusap air matanya.
Sosok ibuku seakan hadir di hadapanku. Ibu menangis menahan rindu padaku yang pergi tanpa kabar selama tiga tahun. Hatiku pun mulai luluh. Diantara kumandang takbir, kuputuskan pulang untuk mengurai segala persoalan dan berharap maaf atas salahku.
***

Rumahku tak berubah. Hanya cat putihnya mulai memudar. Pohon mangga di depan rumah pun masih ada dan mulai berbuah meski tidak terlalu lebat. Perlahan kubuka pintu pagar yang tidak terkunci. Aku berharap, orang pertama yang akan membuka pintu untukku adalah ibu. Saat itu terjadi, aku ingin memeluknya dan minta maaf atas kepergianku selama tiga tahun tanpa kabar.
Setelah beberapa kali mengetuk, pintu rumah mulai terbuka.
”Ines!!” Tante Ana nampak tercengang melihatku. Sesaat kemudian kami berpelukan. Tante Ana menangis.
”Syukurlah kamu pulang. Selama ini kami mencari kamu, Nes,” Tante Ana mengajakku duduk di kursi tamu.
”Tante sendirian?” tanyaku pada Tante Ana karena melihat keadaan rumah sangat sepi.
”Ya,” jawab Tante Ana pendek.
”Ibu?”
”Ibumu...”
”Ibu pergi, Tante?”
Tante Ana mengangguk.
”Kemana?”
Tiba-tiba Tante Ana memelukku. Tangisnya pecah di pundakku. ”Ikutlah dengan Tante,” Tante Ana mengajakku pergi.
”Kita kemana, Tante?”
”Ke tempat ibumu.”
Aku hanya menurut. Kuikuti Tante Ana pergi ke suatu tempat.
***

Tante Ana mengajakku ke tempat pemakaman.
”Ngapain kita kesini, Tante?”
”Ketemu ibumu.”
”Sejak kapan ibu jadi penjaga makam?”
Tante Ana tak menjawabku. Tanganku diseretnya menyusuri jalan makam yang sempit. Di sebuah gundukan tanah, Tante Ana berhenti. Ia mengajakku duduk berjongkok.
”Tante, kita mau ketemu ibu kan?”
”Ya.”
”Ngapain kita disini?”
”Karena ibumu disini, Nes. Beliau meninggal setahun yang lalu.”
”Nggak mungkin, Tante!”
”Kami tidak tahu bagaimana memberi tahu kamu, karena kamu pergi tanpa kabar dan tidak pernah pulang. Sejak kamu pergi dari rumah, ibumu sakit-sakitan. Apalagi setelah ayahmu meninggal karena kecelakaan. Ibumu sangat kehilangan tapi tidak tahu harus mencari kamu dimana....”
Tiba-tiba semua gelap. Kata-kata Tante Ana tak bisa selesai kudengar. Aku tak sadarkan diri. Sejuta sesal menggumpal dibenakku. Ya Rabb, ampuni aku...
***

Tidak ada komentar: